Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyatakan, kebebasan pers di tanah air saat ini masih terancam, seiring sikap pemerintah yang mengeluarkan regulasi pembatasan kebebasan pers serta adanya tekanan dari masyarakat dan penegak hukum. "Beberapa kebijakan pemerintah sekarang cenderung ingin mengontrol pers, seperti, upaya akan merevisi UU Nomor 40/1999 tentang Pers," kata Direktur Eksekutif LBH Pers, Hendrayana, dalam rangka Memperingati Hari Kebebasan Pers Se dunia pada 3 Mei 2008, di Jakarta, Jumat. Ia mengatakan, regulasi pemerintah yang ingin menekan pers dapat terlihat dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 dan Pasal 5 jo Pasal 48 UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 UU ITE, menyebutkan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik, diancam hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar." Kemudian bunyi Pasal 5 jo Pasal 48 UU KIP, "Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan informasi publik dan atau melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp30 juta." "Regulasi pemerintah dalam bentuk perundang-undangan yang dibuat pemerintah bersama DPR yang sebelumnya diharapkan bisa menjamin dan melindungi kebebasan pers serta memperoleh dan menyebarkan informasi, justru menjadi ancaman yang serius dengan mengkriminalisasikan pers," katanya. Selain itu, kata dia, ancaman kebebasan pers juga dilakukan oleh masyarakat, pengusaha, penguasa dan penegak hukum sendiri dengan cara mengkriminalisasikan pers dan wartawan serta gugatan perdata ke pengadilan. Padahal dalam UU Pers telah menyebutkan jika seseorang yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, ada mekanisme penyelesaian sengketa pers, yakni, melalui hak jawab, hak koreksi atau dengan mengadukan kepada Dewan Pers sebagai lembaga yang mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan. "Oleh karena itu, LBH Pers menuntut pemerintah untuk mencabut regulasi yang menghambat dan dapat mengancam kebebasan pers di Indonesia, serta menolak pengkriminalisasian terhadap pers," katanya. Selain itu, LBH Pers juga menuntut aparat penegak hukum (polisi, jaksa, advokat, hakim) untuk menggunakan UU Pers sebagai "lex specialis" dalam menyelesaikan setiap sengketa pers, dan menyerukan kepada pihak-pihak yang keberatan/dirugikan isi pemberitaan agar menempuh mekanisme yang tersedia dalam UU Pers. "UU Pers mengatur hak jawab atau surat protes, mengadukan kepada dewan pers dan organisasi jurnalis," katanya. Sementara itu, LBH Pers menyebutkan selama Mei 2007 sampai Mei 2008 tercatat terdapat 26 kasus kekerasan yang dialami wartawan, yakni, 15 kasus kekerasan dalam fisik dan 11 kasus kekerasan dalam bentuk nonfisik. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008