Oleh Bob Widyahartono M.A.*) Jakarta (ANTARA News) - Kegiatan diplomasi politik dan ekonomi umumnya oleh kebanyakan anggota eksekutif, legislatif dan pengamat di negeri ini lebih sering dipersepsi sebagai tatap muka, dengan para pihak guna menyampaikan serangkaian gagasan untuk dikompromikan dan kemudian disepakati. Hendaknya disadari dan dipahami bahwa diplomasi merupakan langkah akhir dari berbagai kegiatan lobi dan negosiasi. Kegiatan melobi itu biasanya mendahului atau melengkapi proses negosiasi formal sebagai instrumen diplomasi. Teramati belum mengakarnya tiga sikap dan perilaku dasar yang perlu bagi para pelobi di negeri ini. Keahlian dan pengetahuan bidang yang ditekuni dan bukan yang umum umum saja. Selain itu, hal yang pertama adalah kesegaran fisik dan mental untuk berpikir dan bertutur kata dalam bahasa, termasuk bahasa Inggris yang jelas, tegas/mantap, sesuai dengan obyek lobi. Hal kedua, yakni menjadi pendengar komunikator, yang terfokus dan tidak menunjukkan bahasa tubuh yang bimbang dan meragu. Adapun hal ketiga adalah senantiasa memperbarui (up date) pengetahuan untuk menyiapkan diri menjelang jadwal lobi yang disepakati. Dari mana istilah lobby dan kegiatan melobi (lobbying)? Lobby adalah suatu ruang tunggu dalam gedung pertemuan umum, hotel, perkantoran instansi pemerintahan atau swasta, ruang makan klub olahraga, seperti golf, tenis, renang dan sejenisnya. Dalam ruang demikian itu dilakukan pendekatan/negosiasi yang sifatnya masih non-formal. Investasi dalam pengembangan mutu pelobi harus diadakan, karena dirinya harus aktif dan menyediakan waktu penuh untuk tugas dan tanggung jawab sebagai pelobi. Seorang pelobi harus sehat fisik maupun mental, dan tidak mudah bosan. Banyak kali terungkap masih belum cukup kompeten dan para pelobi (lobbyist) di negeri ini, baik dalam politik maupun ekonomi. Apalagi, mereka yang mentalitasnya sengaja menutup-tutupi ketidakmampuan dalam memberi bobot dalam proses, dan cenderung "mau cepat beres" (quick fix mentality), serta tidak menghargai "upaya dan waktu mitra pelobi". Masih banyak di kalangan senior maupun junior yang banyak berinteraksi dengan pihak luar negeri dalam kompetensi lobbying terlihat masih baru taraf awal kefasihan berbahasa Inggris, dan belum cukup mumpuni, belum lagi keterbatasan pengetahuan untuk melakukan "tukar pikiran dan beradu alasan" (reasoning) yang bermakna. Penerjemah pun yang diberdayakan tidak selalu bermutu dalam pemahaman materi pembicaraan. Para penggalang pelobi professional di negeri ini agaknya harus berpengalaman dalam membekali perencanaan dan program (plan and program) untuk setiap bahan dan bahasan, serta anggaran yang memadai tanpa pemborosan waktu dan dana. Berarti sebagai professional, ia harus tetap mau belajar atau belajar kembali sambil mengenali budaya/sikap pandang mitra pelobinya. Dalam tatanan masyarakat internasional, baik pemerintahan maupun kegiatan bisnis, peranan pelobi makin strategis untuk memperlancar rangkaian negosiasi. Banyak kali terungkap kesan pelobi itu dadakan satu kali (einmalig) untuk kepentingan politik, sedangkan antara lobi politik dan ekonomi saling terkait. Banyak mantan elit legislatif maupun ekskekutif di negeri ini pun menonjolkan diri sebagai pelobi, yang justru terkesan "sok sibuk", ikut-ikutan dalam lobi tanpa plan and program, serta kurang mampu bersikap benar-benar menyiapkan diri. Pengamatan mengungkapkan dengan menonjolkan diri dengan self publicity di hadapan media cetak atau elektronik, maka terungkap kedangkalan dan menimbulkan situasi meragu dalam negosiasi yang lebih matang. Sebagai pelobi kalau tidak menguasai bahasa para mitra pelobi, maka mereka hendaknya jauh-jauh hari disiapkan penerjemah professional yang benar-benar mendalami berbagai sinyal non-verbal, bahasa tubuh dan gaya komunikasi lawan penerjemah atau lawan bicara. Pelobi melalui penerjemah perlu mengukur diri dalam kecepatan menyampaikan pemikiran dan menghindari sikap serba tergesa yang bernada (tone) mendesakkan pendirian atau gagasannya sendiri saja. Dalam hal persyaratan mental, pengetahuan maupun sarana dana maupun ketrampilan berteknologi informasi, seperti memanfaatkan telepon seluler (ponsel) dan Internet, untuk mampu mengungkapkan substansi dalam tahapan tahapan melobi juga menjadi kecenderungan aktual yang harus dikuasai secara baik dan tepat guna. Kegiatan tersebut tidak sekali atau instan membuahkan hasil (output). Harus diingat pula bahwa pihak mitra/lawan pelobi counter lobbyist tidak selalu siap sedia berkeinginan mencapai hasil. Jumlah pelobi itu juga tidak hanya dalam jumlah yang hanya itu itu saja untuk kepentingan politik dan atau bisnis. Perlu dikembangkan kader untuk awalnya menjadi pengikut dengan mengobservasi/mencatat, yang pada gilirannya setelah beberapa kali melobi secara tepat, maka mampu menjadi pemimpin lobi saat dibutuhkan untuk fokus tertentu. Pelobi itu senantiasa aktif mencari informasi, dan dari informasi dilengkapi pengalaman dijadikannya pengetahuan untuk berlobi Jadi, bagi mereka bekal pengetahuan adalah penting untuk juga menjalani semacam internalisasi terlebih dulu, agar memadai dalam hal mutu dan tidak menimbulkan kesan di pihak mitra pelobi sebagai sesuatu hal dangkal tanpa persiapan dan terkesan "sok tahu banyak". Pertanyaan yang menggelitik bagi pelobi adalah apakah untuk menjadi pelobi dan kemudian negosiator professional itu melalui pendidikan formal dengan sertifikasi atau ijazah khusus sebagai pertanda telah merampungkan studi formal? Ternyatam hal yang lebih berbobot nilainya adalah minat, kemauan berinteraksi dan dalam berinteraksi sebagai proses ulet, tidak arogan/sombong dan tidak menunjukkan sikap boros dana dan boros waktu. Hal yang penting adalah kesamaan visi lobi ekonomi dan politik untuk mencapai tujuan diplomasi secara total. Demikian pula kegiatan diplomasi politik maupun ekonomi harus dilakoni oleh para ahli yang memang mengkhususkan diri dalam bidangnya dengan tetap membangun kerjasama tim lintas fungsional (cross functional) yang kompak dan tidak merupakan delegasi besar, serta tidak setiap kali kegiatan ganti anggota tim. Kesadaran pemahamam konseptual semacam itulah yang menjadi makin penting demi kesinambungan kegiatan lobi/negosiasi dan diplomasi menuju keberhasilan. (*) *) Bob Widyahartono M.A. (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi, bisnis dan studi pembangunan, terutama masalah Asia Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Oleh surya
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008