Jakarta (ANTARA News) - Diplomasi China-Jepang yang bukan jangka pendek sifatnya, tetapi makin berkembang ke arah kemantapan integrasi kawasan Asia dengan landasan koeksistensi damai bersahabat demi kemantapan kesejahteraan bangsa Asia di abad 21 sebagai satu sinergi baru dari pemimpin China dan Jepang, Hu Jintao dengan Takeo Fukuda, kata pengamat ekonomi Asia Timur, Bob Widyahartono MA. Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) itu kepada ANTARA News mengemukakan, sinergi itu merupakan babak dari Ice Breaking ke Ice Melting diplomasinya dua petinggi Jepang-China, Shinzo Abe dengan Wen Jiabao, pada April 2007. Saat itu terungkap terungkap konsistensi diplomasi makin sinergis Jepang-China dengan kunjngan Hu Jintao, Presiden RRC ke Jepang, baru baru ini. Satu visi ke masa depan yang patut para elite dan pengamat di Indonesia untuk mencermatinya secara berkesinambungan dengan sikap pandang yang lebih segar (fresh). "Saya melihat signifikasi diplomasi dalam kerjasama ekonomi kedua negara tersebut yang saling mengisi (komplementer), dalam arti China dengan surplus sumber daya manusia, dan di pihak Jepang dengan tingkat perekonomian tertinggi Asia dengan tenaga kerja yang menipis (labour short)," ujarnya. Ia mengemukakan pula, "Jepang dengan teknologi yang lebih tinggi dibandingkan China diharapkan oleh pihak China memberi dukungan teknologi di sektor-sektor industri dalam pendayagunaan sumber daya enersi yang makin efisien." Dalam perjalanan waktu sejak Shinso Abe menjadi Perdana Menteri (PM) Jepang yang dilanjutkan Takeo Fukuda, dan di pihak China dengan usainya kongres Rakyat RRC baru baru ini dapat ditelusuri niat serius kedua pihak untuk menggalang kerjasama yang lebih erat dan tidak hanya sebagai tetangga yang baik. "Apakah ke depan langkah-langkah kedua pihak akan memasuki tahapan baru kerjasama secara ekonomi, memasuki suatu era baru? Katakanlah sebagai Integerasi pan-ekonomi Asia, seperti pernah ditulis oleh Stephen S. Roach, dari Morgan Stanley, dalam The Next Asia, pada 5 April 2007. Atau hal itu lebih layak atau masih suatu impian hingga dua dekade mendatang? Bagaimana pula dengan 'ASEAN Plus Three'?," katanya. Bob menilai bahwa serangkaian pertanyaan tersebut jika dicermati, maka akan membuka wawasan mengenai masa depan Asia karena Jepang dan China adalah dua negara yang memiliki peran besar bukan hanya di regional, tetapi di tingkat global. Ia juga mengemukakan, dengan cadangan devisa yang demikian besarnya, China 1,6 triliun dolar AS, dan Jepang mendekati 1 triliun dolar AS, serta dilekati produktivitas kedua raksasa, maka patut diamati apakah integrasi ekonomi dua kekuatan Asia tersebut lebih layak untuk mereka kembangkan ke arah rintisan ke serangkaian langkah strategis bersama menuju penciptaan mata uang bersama (common currency) untuk Asia menjadi 'hard curency' seperti Euro? Sinergi baru yang diharapkan tanpa dominasi satu oleh yang lain, dan di pihak Barat lebih bersikap menghargai dan tidak menghalang-halangi atau mengadu-domba inisiatif kedua negara untuk kawasan Asia, maka akan membuat paradigma baru, demikian Bob Widyahartono. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008