New York (ANTARA News) - Perwakilan Indonesia di New York pada Rabu menggelar dialog antarpemeluk enam agama yaitu Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu dengan target menekankan kembali perlunya perdamaian dan toleransi masyarakat di dunia, termasuk di New York, kota yang mengalami serangan teroris pada 11 September 2001. Dialog enam agama tersebut dipandu oleh tokoh muslim Indonesia ,Syamsi Ali yang dinobatkan sebagai salah satu dari tujuh pemimpin agama paling berpengaruh di kota New York oleh New York Magazine tahun 2006. Para pembicara dialog terdiri atas pemimpin-pemimpin agama di berbagai komunitas di wilayah New York, yaitu Daisy Khan dari American Society for Muslim Advancement, Pendeta Yahudi (Rabbi) Delphine Horvilleur dari Central Synagogue New York, dan Pendeta Kristen N.J. L`Heureux Jr. dari Queens Federation of Churches. Kemudian Dr. Uma Mysorekar dari Hindu Temple Society of North America, Venerable Kondanna dari Buddhist Council of New York serta Pendeta John Kung dari Kong Hu Chu Society of New York. Syamsi Ali menyebut kehadiran Delphine Horvilleur dalam dialog hari Rabu sebagai hal yang spesial, mengingat --berbeda dengan Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Kon Hu Chu, maka agama Yahudi tidak memiliki pengikut di Indonesia. Horvellieur sang ibu dua anak adalah rabbi perempuan ketiga yang dipunyai Perancis. Ia memang berasal dari Perancis dan pernah bekerja sebagai jurnalis bagi stasiun televisi nasional Perancis, France 2, di Eropa dan Timur Tengah sebelum akhirnya memasuki sekolah kependetaan Yahudi. Konsul Jenderal RI di New York Trie Edi Mulyani, yang membuka dialog antaragama tersebut, mengatakan peranan spihak-pihak nonpemerintah untuk membentuk masyarakat dengan berbagai agama tumbuh menjadi masyarakat yang hidup harmonis. "Dialog antaragama, dalam pandangan saya, adalah alat untuk membangun pengertian dan dan berbagai kepentingan yang terdapat dalam berbagai budaya dan kepercayaan di New York yang cantik ini," kata Trie. Ia juga memaparkan Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, secara serius terus mendorong adanya dialog antaragama. Hal itu terlihat dari langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menempatkan dialog antar-agama dan perbadaban sebagai salah satu prioritas utama agendanya. Pada tahun 2004, misalnya, Indonesia dan Australia bertindak sebagai tuan rumah bersama International Dialogue on Interfaith Cooperation di Yogyakarta dan pada tahun 2005 Indonesia menjadi tuan rumah Asia-Europe Meeting (ASEM) Interfaith Dialogue. Tantangan Sementara itu, Syamsi Ali sebelum memimpin diskusi mengatakan di tengah perkembangan pesat bidang teknologi komunikasi yang menjadikan dunia semakin global, para pemuka agama memiliki tantangan tersendiri dalam berkompetisi mempromosikan keyakinan masing-masing. "Serangan 11 September telah mengubah hubungan di antara masyarakat religius. Trend baru itu juga memberikan dampak kepada masyarakat Indonesia," ujarnya. Bagi Indonesia sendiri, kata Syamis, penerimaan terhadap keragaman agama dan budaya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah menjadi filosofi bangsa. "Karena itu, dialog (antaragama, red) adalah sesuatu yang sudah biasa dilakukan," tambahnya. Keempat pemimpin agama, yaitu Daisy Khan, Pendeta N.J. L`Heureux Jr., Dr. Uma Mysorekar, Venerable Kondanna, serta Pendeta John Kung, secara umum antara lain menekankan bahwa berupaya menerima orang lain layaknya sebagai keluarga sendiri adalah modal bagi terciptanya masyarakat yang dapat hidup secara harmonis. Seseorang tidak akan membenci orang lain jika yang bersangkutan menganggap orang lain sebagai anggota keluarga, demikian kata para pemimpin agama itu. Rabbi Horvilleur menambahkan bahwa perdamaian juga seharusnya dapat diciptakan kendati satu orang dengan orang yang lainnya berbeda pandangan dan menanggap dirinya yang paling benar. "Manusia tidak harus selalu sama pandangannya. Justru di situlah kita bisa melihat bahwa keberadaan atau keyakinan terhadap Tuhan muncul melalui berbagai jalan yang berbeda," katanya. (*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2008