Malang (ANTARA News) - Anggota Dewan Pers S.Leo Batubara menyatakan, pelaksanaan hukum di Indonesia "aneh" dan seringkali bertolak belakang. "Hukum Indonesia yang aneh ini membuat banyak hal yang berhubungan dengan peradilan menjadi tidak jelas dan `amburadul`," katanya ketika memberikan materi di acara "Lokakarya Peningkatan Jurnalistik" yang diselenggaran Dewan Pers di Malang, Kamis. Ia mengatakan, meskipun pers sudah memiliki UU No 40 tahun 1999 tentang pers, namun para penegak hukum baik kepolisian, jaksa maupun hakim seringkali masih menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut dia, UU Pers sudah melindungi para wartawan ketika ada sengketa (masalah) dengan nara sumber atau pihak lain yang terkait dengan pemberitaan, namun dalam proses penyelesaiannya, para penegak hukum masih menggunakan KUHP bukan UU Pers. "Pers kita ini sering dilecehkan oleh para penegak hukum dan KUHP sering dijadikan pedoman untuk menyelesaikan sengketa yang diproses secara hukum, meskipun sudah ada UU Pers yang mengatur dengan jelas dan tegas," katanya menegaskan. Oleh karena itu, katanya, kedepan, pada penegak hukum harus mengesampingkan KUHP dalam menangani dan menuntaskan persoalan pers yang muncul dan menggunakan acuan UU Pers. Menyinggung perkembangan media di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini, Leo mengatakan, cukup pesat, dari 289 perusahaan media cetak pada tahun 1997 menjadi 889 pada tahun 2006. Sedangkan media elektronik khususnya televisi, dari 6 perusahaan media pada tahun 1997 menjadi 111 pada tahun 2006 dan radio dari 740 ditambah RRI padatahun 1997 menjadi 2000 pada tahun 2006. Hanya saja, katanya, dari 889 media cetak yang ada itu, hanya 30 persen yang berkategori sehat secara bisnis dan selebihnya tidak sehat. "Kategori sehat ini diantaranya perolehan iklan signifikan, SDM-nya profesional dan sebagian besar adalah media yang berkualitas," katanya menambahkan.(*)

Pewarta: kunto
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008