Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia melarang investasi pada pabrik bahan kimia berbahaya yang berpotensi disalahgunakan sebagai senjata kimia. Dirjen Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian, Benny Wahyudi mengatakan, Indonesia tidak akan memproduksi bahan kimia dan prekursor yang bersifat beracun dan mematikan seperti Sarin, Tabun, VX, Amiton, dan Arsenic Trichloride. "Undang-undang No.9/2008 sudah menegaskan bahwa bahan kimia yang ada dalam daftar 1 dan 2 tidak akan diproduksi di sini, tapi mungkin yang daftar 3 masih bisa," katanya saat sosialisasi UU tentang penggunaan bahan kimia dan larangan penggunaan bahan kimia sebagai senjata kimia, di Jakarta, Kamis. Menurut dia, UU yang disahkan pada 19 Februari 2008 itu tetap menjamin kepastian hukum penggunaan bahan kimia oleh industri pertanian, penelitian, medis, farmasi dan tujuan lainnya. Benny mengakui bahwa hingga kini belum ada industri bahan kimia yang termasuk dalam daftar lampiran UU 9/2008 itu. Selama ini, Indonesia masih mengimpor beberapa bahan baku/ bahan penolong proses produksi sektor industri nasional. Beberapa bahan kimia yang dimanfaatkan untuk keperluan komersial antara lain Tri Etanol Amine (TEA), MEA, DEA. Selain itu ada pula bahan kimia diskret non daftar (DOC) seperti urea, formaldehid, alkyl benzene sulfonat, dan glyphosate. Sebagai negara yang ikut meratifikasi hasil Konvensi Senjata Kimia, Indonesia mengatur penggunaan bahan kimia dalam daftar tersebut. "Setiap orang yang membuat, memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer atau menggunakan bahan kimia dalam daftar itu wajib menyampaikan laporan minimal sekali setahun kepada Menteri," ujar Benny. Industri pengguna bahan kimia dalam daftar wajib lapor antara lain industri kosmetik yang menggunakan TEA dalam produk pemutihnya dan pabrik LNG yang menggunakan metanol amoniak. Pengawasan penggunaan bahan kimia yang diawasi itu dilakukan oleh Otoritas Nasional yang diketuai Menteri Perindustrian dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Otoritas Nasional itu bertugas melakukan inspeksi terhadap industri kimia. Inspeksi tersebut dengan koordinasi bersama Organisasi Internasional Pencegahan Senjata Kimia (OPCW). Selama ini, Indonesia telah menerima 7 kali inspeksi dari Tim Inspeksi Internasional yang menyimpulkan tidak ditemukannya aktivitas dan fasilitas produksi senjata kimia terhadap industri yang diinspeksi. Dengan adanya UU No.9/2008 itu, Indonesia berhak meminta bantuan dan perlindungan kepada negara lain dan OPCW apabila terancam atau diserang dengan senjata kimia oleh negara lain. Sebagai tindak lanjut disahkannya UU itu, pemerintah menargetkan penyusunan Peraturan Pelaksanaan UU tersebut dapat dirampungkan pada Desember 2008.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2008