Jakarta (ANTARA News) - Anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) dan Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) tidak hadir dalam rapat kerja antara Komisi II DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPR), dan Menteri Dalam Negeri yang membahas tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 di Jakarta, Senin. Pimpinan rapat, E.E Mangindaan mengaku mendapatkan informasi bahwa Wakil Ketua Komisi II dari FPG, Idrus Marham, tidak dapat hadir. Namun tidak dijelaskan alasan ketidakhadiran Idrus. Awalnya, rapat dimulai pukul 11.00 WIB, namun mengalami penundaan karena anggota dari FPG dan FPAN yang sebelumnya menandatangani daftar hadir, batal mengikuti rapat. Akhirnya rapat dilanjutkan kembali setelah peserta rapat memenuhi kuorum. Fraksi-fraksi lain yang hadir sepakat untuk melanjutkan rapat yang membahas Perppu 1/2008 menjadi bagian dari Undang-Undang Otsus Papua. Wakil dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Syaifullah Ma`shum mengatakan fraksinya menerima dan menyetujui Perppu nomor 1 Tahun 2008 dibahas menjadi undang-undang dengan sejumlah catatan. "Yakni pembahasan rancangan undang-undang harus mempertimbangkan aspek yuridis," katanya. Sementara itu, Fraksi Golkar yang tidak menghadiri rapat mengirimkan surat keterangan yang ditandatangani Ketua Fraksi yang isinya pendapat tentang pembahasan RUU. Sejumlah anggota Komisi meminta pimpinan sidang Mangindaan agar memeriksa keabsahan surat tersebut dan dibacakan isinya. "Di sini tertulis, `menyetujui dan siap membahas peraturannya`," kata Mangindaan, mengutip isi surat FPG. Sementara itu, FPAN tidak mengirimkan surat atau keterangan apapun tentang pembahasan RUU. Berpikir jernih Ketika diminta pendapatnya mengenai ketidakhadiran anggota FPG dan FPAN, Mendagri mengatakan dirinya tidak memiliki pikiran buruk mengenai hal itu. "Saya tidak mengatakan itu boikot. Saya selalu berpikir jernih," katanya, seusai raker. Mendagri menegaskan, ia menghormati Komisi II DPR dengan menghadiri rapat kerja itu tepat waktu. Dalam rapat tersebut, Komisi II DPR, pemerintah, dan DPD sepakat untuk membahas Perppu Nomor 1 Tahun 2008 menjadi bagian Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Barat. Mendagri Mardiyanto mengatakan, penetapan Perppu didasarkan pada pertemuan antara Wakil Presiden dan jajaran pemerintahan di Papua Barat dan tokoh masyarakat Papua Barat yang berlangsung Februari 2008. "Hasilnya, yaitu untuk dituntaskan status hukum bagi Papua Barat, yakni agar pemerintah mengeluarkan Perppu sebagai landasan hukum," katanya dalam rapat tersebut. Perppu yang ditandatangani 16 April 2008 itu, katanya, memiliki arti penting bagi masyarakat Papua Barat sebagai payung hukum. Perppu itu mengatur tentang perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua. Ia mengatakan memahami dan memberikan apresiasi atas keinginan membahas RUU tersebut dan dapat dilakukan pembahasan di tingkat Panja. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2008