Banda Aceh (ANTARA News) - Akibat meroketnya harga minyak tanah, sebagian besar warga Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, dilaporkan kini terpaksa beralih menggunakan kayu bakar/api sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) untuk keperluan memasak sehari-hari. Ny. Fauziah Anshari (38) dan Ny. Nurmiaty (35), dua ibu rumah tangga dari Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, secara polos mengaku sejak sekitar dua pekan terakhir mereka telah meninggalkan era BBM beralih kembali memasak secara tradisional dengan menggunakan kayu bakar. Kalangan ibu rumah tangga dan anak-anak gadis mereka, akhir-akhir ini hampir setiap harinya pergi ke pinggiran hutan secara berkelompok untuk mencari kayu-kayu kering sebagai pengganti BBM karena alasan tidak mampu lagi membeli minyak tanah akibat kesulitan ekonomi keluarga. Menurut Fauziah, kini sekitar 80 persen dari lebih 1.000 rumah tangga di Kecamatan Sampoiniet memasak dengan kayu api karena mereka tidak mampu lagi membeli minyak tanah karena harganya akhir-akhir ini naik hingga mencapai di atas Rp4.500/liter. Pemukiman Pantee Purba berada sekitar 45 KM dari ibukota Kabupaten Aceh Jaya merupakan salah satu daerah yang belum tersentuh pembangunan, selain infrastruktur masih sulit, sarana penerangan listrik hingga saat ini belum tersedia, walau tiangnya sudah terpasang sekitar dua tahun lalu. "Sebagian besar rumah tangga disini menggunakan lampu teplok pada malam hari dan memasak dengan kayu api," tambah Fauziah Anshari. Memprihatinkan Kondisi kehidupan masyarakat di daerah itu kini cukup memprihatinkan, padahal tanahnya cukup subur, namun aparat Pemerintah Aceh Jaya terlihat belum memperhatikan nasib mereka, baik di bidang pemberdayaan ekonomi, lapangan kerja maupun permodalan pemberian modal usaha bagi masyarakat. "Terkesan masyarakat kami di sini sengaja dimarginalkan padahal peluang untuk bangkit sangat terbuka lebar, namun dukungan dari aparat pemerintah tidak nyaris terlupakan," katanya. Saudi Tgk Mohd. Daud, salah seorang tokoh muda Sampoiniet menyebutkan, nasib masyarakat Pantee Purba hingga kini tetap memprihatinkan, karena mereka sudah kehilangan dua momentum dalam mengejar ketertinggalan serta meraih masa depan lebih baik, yaitu momentum pasca konflik dan tsunami. Pada masa konflik, daerah ini disebut sebagai daerah "hitam" sehingga tidak tersentuh pembangunan, sedangkan pasca tsunami masyarakat disini tidak berhak mendapat bantuan karena tidak termasuk wilayah bencana. "Sekarang suasananya sudah berubah, angin perdamaian sedang dinikmati masyarakat, sehingga alasan apa lagi yang membuat pembangunan terhambat, termasuk listrik yang sudah cukup lama ditunggu belum juga terwujud," demikian Saudi.(*)

Pewarta: anton
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008