Depok (ANTARA News) - Proses penerimaan dan seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia dinilai masih sangat buruk dan menimbulkan kerawanan terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), demikian hasil penelitian yang dilakukan di Universitas Indonesia (UI). "Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses rekrutmen di Indonesia dilakukan dengan cara-cara penyuapan, pertemanan dan afiliasi," kata Madeline Kusharwanti, mahasiswa S-3 Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) UI di Depok, Selasa. Ia memaparkan hasil penelitian untuk disertasinya itu pada sidang promosi doktor Ilmu Administrasi dengan judul disertasi "Analisis Kebijakan Rekrutmen dan Seleksi Pegawai Negeri Sipil di Indonesia". Dikemukakannya bahwa proses pendaftaran yang rumit ditambah seleksi yang konvensional menunjukkan sejak dini Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) telah dikondisikan dalam sebuah situasi kerja yang sangat birokratis, "superficial", serta tidak berbasis pada keahlian atau kompetensi secara menyeluruh. Menurut dia, penyelenggaraan penerimaan dan seleksi yang buruk memang melekat pada masyarakat yang sedang mengalami transisi. Beberapa CPNS harus membayar dan dapat memanfaatkan "joki" untuk mengikuti ujian. Madeline Kusharwanti juga mengatakan, problem penerimaan PNS yang yang dilakukan daerah juga tidak terlepas dari masalah. Penyerahan kewenangan penerimaan dan seleksi kepada daerah, kata dia, telah menimbulkan kerawanan terjadinya KKN. Bahkan kecenderungan untuk mengutamakan putra daerah dalam perekrutan PNS semakin menonjol. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa buruknya sistem penerimaan dan seleksi berakibat pada terpilihnya calon dengan latar belakang pendidikan formal dan pelatihan yang tidak memadai untuk mendukung posisi yang diduduki nantinya. Perlu direformasi Kebijakan yang ada saat ini, kata dia, menunjukkan adanya persaingan kepentingan di antara pembuat kebijakan serta antara pemerintah pusat dan daerah dalam proses formulasi peraturan penerimaan dan seleksi PNS. Untuk itu, katanya, perlu reformasi kebijakan penerimaan dan seleksi PNS, terutama ditujukan untuk memperkuat kesepakatan elit dan aktor tentang misi dan tujuan pengadaan CPNS yang berprinsip pada netralitas, keterbukaan, akuntabilitas, profesionalisme, dan penghapusan KKN. Selain itu, untuk perbaikan substansi yang mengatur tentang netralitas PNS, penataan lembaga serta pengaturan kewenangan pusat dan daerah dalam manajemen kepegawaian, serta adanya perbaikan teknis administratif pelaksanaan rekrutmen dan seleksi. Reformasi, kata dia, tidak hanya dimaksudkan untuk memperbaiki kemampuan kebijakan pemerintah tetapi untuk memperbaiki lingkungan kebijakan terutama kebijakan termasuk di dalamnya kemauan politik dan dukungan politik. "Tanpa lingkungan yang baik, reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS akan terseret lagi pada stagnasi atau bahkan yang lebih buruk," katanya menegaskan. Ini semua bisa terjadi jika pihak-pihak lain yang merasa dirugikan dengan adanya reformasi sehingga menginginkan dipraktikkannya kebijakan rekrutmen dan seleksi yang lama, katanya. Menurut dia, kondisi itu mungkin terjadi karena adanya hubungan antara birokrasi dan politik kekuasaan sehingga netralitas birokrasi dari politik tidak mungkin terjadi. "Kebijakan yang dihasilkan oleh birokrasi akan selalu diakomodasikan dengan kepentingan politik," demikian Madeline Kusharwanti.(*)

Pewarta: anton
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008