Jakarta (ANTARA News) - Pemberantasan korupsi dan pengusutan kasus BLBI yang dilakukan Kejaksaan Agung selama ini tidak maksimal karena adanya oknum pejabat dan jaksa di institusi penegak hukum itu yang justru mengorbankan institusinya untuk membela pihak yang seharusnya ditindak. Demikian pendapat ahli hukum Prof Dr Romli Atmasamita dalam diskusi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Senayan Jakarta, Kamis. Diskusi juga menghadirkan Ketua Masyarakat Transparansi Ismet Hasan Putro dan Ketua Jihad Anti Korupsi Asri Harahap serta Ketua Pemberantasan Korupsi DPD Marwan Batubara. Romli menegaskan, kasus jaksa kasus BLBI Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani merupakan pintu masuk untuk membenahi Kejaksaan Agung secara menyeluruh. Pejabat Kejagung tidak perlu malu dan bersikeras bahwa kasus tersebut ada kaitan dengan BDNI (dimiliki oleh Sjamsul Nursalim). Menurut dia, cara-cara pejabat Kejagung berkelit hanya akan memperburuk citra institusinya. "Kasus yang terang benderang di mana segala keterangan di muka persidangan merupakan bukti bahwa ada keterkaitan antara suap dengan kasus BDNI," katanya. Dia menyatakan, fungsi kejaksaan adalah ekskutor putusan pengadilan sekaligus dapat bertindak sebagai pengacara negara. Putusan PN Jakarta Selatan, belum lama ini, telah membatalkan SP3 yang diterbitkan Kejaksaan Agung atas kasus BDNI. "Alih-alih diterima, Kejagung mengajukan keberatan kepada Pengadilan Tinggi sehingga timbul pertanyaan siapa yang menjadi pengacara negara sesungguhnya sekalipun menurut UU Kejaksaan memiliki hak hukum tersebut," katanya. Kejagung tidak serius tuntaskan kasus BLBI Dengan menyampaikan keberatan atas pembatalan SP3 oleh PN Jakarta Selatan, kata Romli, masyarakat menganggap bahwa Kejagung tidak serius menuntaskan kasus BLBI, khususnya kasus obligor BDNI. Tindakan Kejagung itu seolah-olah justru membela BDNI, padahal fungsinya sebagai pengacara negara. Dia menyatakan, institusi Kejaksaan Agung tidak selayaknya dikorbankan hanya untuk "membela" kepentingan hukum satu kasus BDNI, sementara dalam kasus Samadikun Hartono, David Nusa Wijaya dan Hendra Rahardja tetap dituntut dan diajukan ke pengadilan. Tidak dilanjutkannya kasus BDNI ke pengadilan juga masih mengundang tanda tanya karena jika merujuk pada yurisprodensi Mahkamah Agung (MA), dalam kasus dengan terdakwa tersebut pada kasus yang sama (BLBI) telah terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Lazimnya, penyidik, penuntut umum serta hakim dalam kasus pidana termasuk pidana korupsi wajib mempertimbangkan tiga hal. Pertama, ketentuan normatif dalam UU Anti Korupsi. Kedua, yurisprudensi MA yang telah ditetapkan dalam kasus yang sama. Ketiga, doktrin atau pendapat ahli hukum mengenai masalah hukum di dalam kasus terkait. "Tampaknya, Tim BLBI tidak mempertimbangkan ketiga hal tersebut secara utuh sehingga melahirkan pengumuman Kejagung yang kurang tepat dalam kasus BDNI," katanya. Namun, faktanya di balik pengumuman Kejagung ini adalah terjadinya suap. "Kini, menjadi kewajiban hakim Pengadilan Tipikor untuk membuka tuntas dan menemukan kebenaran material kasus UTG dan Art sehingga jelas siapa aktor intelektual di balik kasus tersebut dan tidak hanya berhenti pada UTG dan Art sesuai dakwaan JPU KPK," katanya.(*)

Pewarta: surya
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008