Jakarta (ANTARA News) - Fraksi Partai Golkar (FPG) menyatakan tidak puas atas keterangan Mendagri Mardiyanto mengenai pemilihan Gubernur Maluku Utara (Malut) saat rapat kerja (Raker) Mendagri dengan Komisi II DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/6). "Penjelasan Mendagri di Komisi II mengecewakan. Pertanyaan mendasar tidak dijelaskan dengan rinci, bahkan tidak runtut," kata sekretaris FPG Idrus Marham didampingi salah satu pimpinan FPG di DPR RI Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta, Jumat. Sebelumnya, Mendagri Mardiyanto memberikan penjelasan tentang kasus Pilkada Malut dan latar belakang pengambilan keputusan menteri untuk memproses pengesahan Thaib Armiyn-Abdul Gani Kasuba dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR di Jakarta, Rabu. Idrus Marham mengatakan, dalam penjelasannya, Mendagri terkesan mengikuti aturan hukum, sementara DPR hanya memberi tekanan politik. "Ini tidak adil karena DPR ingin proses Pilkada sesuai dengan hukum," katanya. Idrus Marham merasa tidak memperoleh jawaban mengenai mengapa Mendagri lebih memperhatikan hasil penghitungan ulang yang dilakukan oleh anggota KPUD yang telah dinonatifkan. Sementara perhitungan yang dilakukan oleh KPUD yang resmi justru tidak diperhatikan. "Karena kalau bicara hukum maka yang sudah non aktif tidak berwenang mengambil langkah sehingga keputusannya ilegal," katanya. "Kami sependapat harus mengikuti aturan hukum yang ada," katanya. Idrus juga tidak puas dengan penjelasan Mendagri bahwa ada dualisme usulan dari DPRD Malut mengenai gubernur terpilih. Ia mengatakan, di DPRD atau pun di DPR sangat mungkin terjadi dualisme. "Di DPR pasti ada yang terbelah. Jika tidak tercapai musyawarah maka voting (pemungutan suara)," katanya. Seharusnya, kata Idrus Marham, Mendagri memperhatikan suara terbanyak di DPRD Malut. Idrus mengatakan, sikap fraksinya tersebut bukan karena calon yang dikalahkan diusung oleh Partai Golkar namun karena mereka ingin proses hukum berjalan dengan baik. "Di beberapa daerah kami juga pernah kalah tapi tidak pernah sekeras ini reaksinya," kata Idrus Marham. Idrus Marham juga mengatakan, langkah FPG mengkritik Mendagri merupakan bentuk kecintaan partai kepada Presiden dan Wapres. Hal itu dilakukan karena FPG tidak membiarkan Presiden dan Wapres tersesat atau menyimpang dari peraturan dan perundang-undangan. "FPG tetap dalam posisi mendukung pemerintahan," katanya. Sementara Ferry Mursyildan Baldan mengatakan, "Kita tidak bisa membiarkan pemerintahan dimana Golkar merupakan bagian, melakukan langkah keliru". Ia juga mengatakan sikap FPG bukan karena ada Abdul Gafur dalam Pilkada tersebut. Rapat kerja Mendagri dengan Komisi II DPR (18/6) tersebut dihadiri oleh anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) dan Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN). Sebelumnya, Senin (9/6), para anggota dari kedua fraksi tersebut tidak menghadiri rapat kerja dengan Mendagri tentang otonomi khusus Papua. Dalam raker tersebut, Mendagri menjelaskan kronologis kasus Pilkada Maluku Utara dan landasan hukum yang digunakan untuk mengambil keputusan. Sebelumnya, 16 November 2007, KPU Maluku Utara memutuskan pasangan Thaib-Abdul Gani sebagai gubernur dan wagub terpilih. Namun pada 19 November 2007, KPU pusat membatalkan hasil Keputusan KPU Malut dan menonaktifkan Ketua KPU Rahmi Husen dan anggota Siti Nurbaya. KPU Pusat, pada 22 November 2007 melakukan rekapitulasi hasil pemilihan dan menetapkan pasangan Abdul Gafur dan Abdul Rahim Fabanyo sebagai pemenang pilkada. Tetapi, pada 22 Januari 2008, Mahkamah Agung memutuskan membatalkan keputusan KPU pada 19 November 2007 mengenai rekapitulasi hasil dan memerintahkan KPU Maluku Utara untuk melakukan penghitungan ulang di tiga kecamatan di Halmahera Barat. "Putusan MA pada 22 Januari punya kekuatan hukum tetap," kata Mendagri. Pada 11 Februari 2008, KPU Maluku Utara melaksanakan penghitungan ulang, namun terdapat dua versi hasil. Pertama versi Rahmi (yang telah dinonaktifkan) dimana pasangan Thaib memperoleh suara terbanyak, sementara versi Muchlis Tapi Tapi (plt Ketua KPU Malut) menetapkan pasangan Abdul Gafur unggul di tiga kecamatan. Fatwa Mahkamah Agung pada 10 Maret 2008 ke Mendagri menyebutkan, diantaranya bahwa putusan MA (22 Januari 2008) telah berkekuatan hukum dan versi Rahmi telah sesuai dengan prosedur yuridis. Isi fatwa juga menyebutkan Mendagri berwenang memutuskan dan seyogyanya dibicarakan dengan DPRD dan Provinsi Maluku Utara. Pada 14 Mei 2008, Mendagri mengajukan fatwa ke MA. Isi fatwa hukum MA kepada Mendagri bahwa sesuai wewenangnya, pemerintah pusat dapat menyelesaikan permasalah pilkada Malut sebagai "beleid" (kebijakan). "Mendagri tidak membuat keputusan baru tetapi melaksanakan dan mempedomani putusan Mahkamah Agung," katanya. Mendagri mengatakan petimbangan hukum dalam pengambilan keputusan yakni pasal 106 UU 32/2004 bahwa sengketa Pilkada diputuskan oleh Mahkamah Agung dan putusan MA pada 22 Januari 2008. "Mendagri tidak memproses usulan dua hasil DPRD Maluku Utara," katanya. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2008