Brisbane (ANTARA News) - Sebuah perusahaan keselamatan udara Australia, "Flight Safety Pty Ltd", menuding otoritas Bandar Udara Adisucipto Yogyakarta beroperasi tanpa izin ketika kecelakaan pesawat Garuda Indonesia terjadi pada 7 Maret 2007. Tudingan Flight Safety Pty Ltd itu didasarkan pada hasil auditnya terhadap Bandara Yogyakarta atas permintaan seorang kliennya, demikian ABC melaporkan Senin. Namun tudingan itu dibantah Mardjono Siswo Suwarno dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi. Mardjono seperti dikutip ABC mengatakan, izin operasi Bandara Adisucipto Yogyakarta masih valid ketika musibah kecelakaan pesawat Boeing 737-400 Garuda Indonesia terjadi. Dalam kecelakaan itu, sebanyak 21 orang, termasuk lima warga Australia, tewas. Hasil audit Flight Safety Pty Ltd menyimpulkan bahwa otoritas Bandara gagal memenuhi lima syarat untuk bisa mendapatkan izin operasi, termasuk memperluas landasan pacu dan area keselamatan. Pesawat naas yang diterbangkan pilot Marwoto Komar itu membawa 140 orang. Di antara para korban adalah wartawati Sydney Morning Herald, Cynthia Banham, dan wartawan Australian Financial Review, Morgan Mellish. Cynthia Banham selamat namun menderita luka bakar serius, sedangkan Morgan Mellish tewas bersama empat warga Australia lainnya dalam kecelakaan 7 Maret 2007 pagi itu. Kedua jurnalis ini terbang bersama tujuh warga Australia lainnya ke Yogyakarta dengan pesawat yang diterbangkan pilot Marwoto Komar untuk meliput kunjungan (mantan) Menteri Luar Negeri Alexander Downer ke kota pelajar itu. Selain Morgan Mellish, empat warga Australia lain yang tewas dalam kecelakaan Garuda yang membawa 133 orang penumpang itu adalah Konselor Urusan Umum yang juga Juru Bicara Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Elizabeth O`Neill, Pimpinan Badan Pembangunan Internasional Australia (AusAID), Allison Sudradjat, Brice Steel (anggota Polisi Federal Australia), dan Mark Scott (ketua tim `engagement regional`).(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008