Bandarlampung (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) didesak untuk segera melakukan pemeriksaan atas putusan kontroversial majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang (Lampung) atas dua terdakwa pelaku tindak pidana korupsi, yakni mantan Kepala Dinas BMP/PU Kota Bandarlampung, Tjandra Tjaya dan pimpinan proyek, Faisol Muchtar. "Seharusnya setiap tindak pidana korupsi dihukum sekeras-kerasnya supaya ada efek jeranya," kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, saat diminta tanggapannya, di Jakarta, Jumat. Teten menyebutkan, seringkali hukuman percobaan yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi itu tidak dikenakan hukuman penjara, padahal pelaku pidana korupsi seharusnya dihukum seberat-beratnya. Sehubungan itu, ia mendesak MA dan KY untuk segera memeriksa putusan kontroversial majelis hakim PN Tanjungkarang, karena putusan itu merusak upaya yang sedang ditempuh dalam memberantas korupsi. Majelis hakim mengadili kedua terdakwa kasus korupsi itu, yakni mantan Kepala Dinas Bina Marga dan Permukiman (BMP) Kota Bandarlampung, Tjandra Tjaya, dan pemimpin proyek dinas tersebut, Faisol Muchtar, di PN Tanjungkarang, Bandarlampung, Rabu (25/6). Majelis hakim menilai, kedua terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dalam amar putusannya, terdakwa dijatuhi hukuman 1 tahun penjara, denda Rp20 juta subsider 2 bulan kurungan dengan masa percobaan 18 bulan dan membayar ongkos perkara Rp5 ribu, serta terdakwa diperintahkan tidak perlu menjalani hukuman penjara. Kedua terdakwa menyatakan menerima putusan majelis hakim itu, namun putusan itu mendapatkan sorotan tajam dari berbagai kalangan pengamat dan praktisi hukum di Lampung, karena dinilai tidak sesuai kepatutan, mengingkari keadilan serta mencederai upaya pemberantasan korupsi. Berkaitan itu, ICW meminta MA dan KY untuk segera memeriksa putusan kontroversial majelis hakim PN Tanjungkarang, agar putusan itu tidak merusak upaya pemberantasan korupsi yang tengah digalakkan di Indonesia.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008