Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Selasa, menegaskan kebesaran bangsa-bangsa ditentukan justru pada kemampuan menghadapi perubahan-perubahan. "Sejarah telah menunjukkan dengan jelas bahwa gejolak dan perubahan adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Kecerdasan dan kearifan dalam mengambil keputusan di tengah berbagai kesulitan akan mencerminkan tingkat kemajuan suatu bangsa," kata Presiden Yudhoyono. Pernyataan Presiden merupakan bagian awal dari Keterangan Presiden Republik Indonesia atas interpelasi DPR tentang Kebijakan Antisipatif Pemerintah mengenai kenaikan harga bahan pokok untuk menjamin ketersediaan kebutuhan pokok murah lagi terjangkau bagi masyarakat dalam Rapat Paripurna DPR, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta. Di hadapan para legislator pada Rapat Paripurna yang dipimpin langsung Ketua DPR HR Agung Laksono, Presiden dalam keterangan resminya yang dibacakan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, kemampuan menghadapi perubahan melalui pilihan-pilihan kebijakan secara cerdas serta arif, guna mengambil keputusan di tengah berbagai kesulitan, mencerminkan tingkat kemajuan bersama. "Kebijakan itu akan terlihat dari pilihan yang dilakukan, di antara berbagai keterbatasan dan masalah untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama," katanya. Emerging Countries Sedikit mengadopsi pemikiran Bung Karno (Presiden I RI), Presiden Yudhoyono menyatakan, selama hampir satu dekade, perekonomian global berkembang sangat pesat dan cepat yang memunculkan negara-negara berkembang (emerging countries). "`Emerging Countreis` seperti China dan India, muncul dengan pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Kondisi ini telah menyebabkan perubahan dalam keseimbangan global secara mendasar pula," katanya. Namun, pertumbuhan permintaan terhadap komodits-komoditas strategis, seperti energi dan pangan, mengalami peningkatan sangat tajam, bahkan diperkirakan bakal berkelanjutan. "Di sisi lain, kemampuan ekspansi produksi atau `supply` dunia, sangat terbatas, baik karena kendala struktural, seperti infrastruktur, teknologi maupun sistem insentif dan informasi," kata Presiden. Sementara itu, situasi likuiditas global yang sangat longgar, telah menyebabkan ekses dalam praktik investasi yang cenderung ekspansif dan kurang hati-hati. "Kondisi ini telah menghasilkan krisis keuangan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang dipicu kredit macet di sektor perumahan di Amerika Serikat dan menjalar pada sentimen pasar uang dan pasar modal global," kata Kepala Negara. Tantangan Besar "Kondisi yang saya kemukakan tadi, telah menghasilkan tiga tantangan besar dunia yang harus dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Yaitu, masalah kenaikan harga energi-khususnya harga minyuak bumi, masalah kenaikan harga komoditi-khususnya komoditi pangan, dan masalah perubahan iklim," kata Presiden Yudhoyono. Ketiga permasalahan tersebut, juga dipersulit dengan krisis keuangan dan pasar modal di negara maju. "Padahal, kenaikan harga minyak bumi yang diakibatkan oleh terbatasnya pasokan minyak dan faktor-faktor lain, telah diikuti dengan meningkatnya kesadaran untuk melakukan mitigasi dan adaptasi atas perubahan iklim, yang telah menyebabkan harga-harga komoditi terangkat naik," katanya. Misalnya, harga komoditas pangan, naik mencapai rekor dalam sejarah dan diperkirakan akan tetap tinggi pada masa yang akan datang. "Dalam sejarah peradaban dunia, memang pernah mengalami permasalahan seperti itu. Namun, hal yang membuat situasi saat ini lebih mengkhawatirkan dan berdampak luas, adalah, karena ketiga masalah tersebut terjadi praktis bersamaan, terkait satu sama lain, dan dialami oleh hamopir seluruh Negara di dunia (termasuk Indonesia). Inilah masalah global, dalam arti yang sebenarnya," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terpaksa Pada bagian lain keterangan Presiden RI setebal 55 halaman itu terungkap, "kebijakan ini (kenaikan harga BBM), juga diambil secara terpaksa oleh Indonesia." Menurut Presdien, keputusan menaikan harga BBM adalah pilihan yang sulit yang harus (kami) lakukan untuk merealokasi anggaran dari subsidi BBM ke anggaran untuk program dan subsidi lain yang lebih terkait langsung dengan kelompok masyarakat miskin dan kurang mampu serta usaha mikro dan kecil. "Dan di tengah situasi global yang melanda dunia, kebijakan ini juga tidak hanya terpaksa diambil oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara lain," kata Presiden. Keputsuan pemerintah menaikkan harga BBM sejak 24 Juni 2008, memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok di Tanah Air. Hal itu menjadi momentum bagi sejumlah Anggota DPR RI mengajukan usul interpelasi. (*)

Pewarta: muhaj
COPYRIGHT © ANTARA 2008