Jakarta (ANTARA News) - Otoritas keuangan nasional, dalam hal ini Bank Indonesia (BI), diminta untuk segera membuat aturan keuangan yang berbasis syariah (sukuk) karena di negara yang bukan mayoritas berpenduduk Muslim masalah itu sudah banyak dijualbelikan. Di beberapa negara ASEAN, seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia, pembangunan real estate atau Real Estate Invesment sudah memanfaatkan dana lewat penjualan sukuk atau obligasi berbasis syariah, kata Direktur Senior, Zaid Ibrahim & Co. Dr. Nik Norzu Thani, usai menghadiri Dialog "New Opportunities in Raising Capital: Banking, REIT`s and Sukuk di Jakarta, Rabu. Zaid Ibrahim & Co merupakan perusahaan yang bergerak dalam konsultasi hukum bisnis yang berbasis di Malaysia, dan tergabung dengan perusahaan sejenis dari Singapura, Thailand dan Indonesia. Menurutnya, sebenarnya otoritas moneter Indonesia telah mengapresiasi berbagai produk yang berbasis syariah, namun terkesan lamban dibandingkan dengan negara lain, sekalipun negara itu tidak banyak yang menganut Islam. "Mungkin pemerintah menggunakan tamsil, biar pelan yang penting pasti dan selamat," kata Nik Norzul Thani dengan logat Melayu. Dikatakan, dalam era globalisasi ekonomi yang serba cepat ini, pemerintah seyogianya lebih cepat dan tangap terhadap perkembangan pasar. "Para investor dari kawasan Timur Tengah akan lebih suka menanamkan investasinya di Indonesia jika menggunakan mekanisme syariah. "Makanan yang halal, akan disantap oleh semua pihak dari kelompok manapun. Sementara makanan yang dinilai haram, yang akan menyantap hanya sebagian orang. Mengapa pemerintah Indonesia tidak segera menerbitkan aturan sukuk yang dapat dibeli oleh semua investor?" katanya dengan nada tanya. Hal senada juga disampaikan Direktur Ekonomi Global Research Kuwait Finance House, Beljeet Kaur Grewal. Ia mengatakan, perekonomian Indonesia tahun ini dan ke depan akan terus membaik di tas 6 persen, meskipun masih banyak subsidi yang harus dikeluarkan dan harga minyak di pasar internasional terus naik. Potensi perekonomian yang cukup baik itu, kata Beljeet, akan lebih baik lagi jika otoritas moneter lebih tangap terhadap perkembangan pasar. "Buatlah aturan hukum yang sesuai dengan perkembangan globalisasi ekonomi," katanya menegaskan. Ia juga mengatakan, Kuwait Finance House akan banyak melakukan investasi di Indonesia jika hal itu dinilai menguntungkan dan aman. Kuwait Finance sudah menjajagi berbagai sektor seperti industri perbankan, jasa keuangan sampai kepada sektor agro industri. "Kita saat ini juga menunggu langkah pemerintah Indonesia untuk mengakomosi sukuk yang konon kabarnya saatii sedang dibahas di tingkat legislatif," katanya. Sebelumnya, lembaga konsultasi hukum bisnis dari Indonesia yang tergabung dengan Allen & Gledhill, Zaid Ibrahim, Roosdiono &Patners, mengatakan, para pengusaha nasional sampai saat ini belum banyak yang dapat mengoptimalkan pencarian dana melalui penerbitan sukuk (obligasi syariah), akibatnya banyak investor dari kawasan Timur Tengah melakukan investasi hanya ke Malaysia dan Singapura. "Kenapa Malaysia bisa lebih unggul dalam menyerap investasi dari Timur Tengah ketimbang Indonesia. Jawabnya karena Malaysia sudah terlebih dahulu menyiapkan berbagai instrumen investasi lewat sukuk sementara Indonesia baru merintis. Demikian pula Singapura," kata Anangga W. Roosdiono, ketua penyelenggara dialog peluang meningkatkan investasi lewat dana perbankan dan sukuk itu. Dikatakannya, Singapura, Thailand dan Malaysia, sudah berhasil memanfaatkan surat berharga "Real Estate Investment Trust" (REITs) sebagai sarana investasi. Sementara REITs di Indonesia masih terkendala dengan masalah pajak, kendati Ditjen Pajak sudah menjanjikan akan mengeluarkan Surat Edaran yang memastikan REITs tidak dikenai pajak ganda, namun faktanya sampai saat ini masih dikenakan pajak berganda. Pembiayaan lewat sukuk, semestinya tidak hanya dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi juga perbankan nasional atau perusahaan besar nasional harus dapat menerbitkan obligasi yang berbasis syariah (sukuk), katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2008