Jakarta (ANTARA News) - Komisi Yudisial (KY) menegaskan, pengadilan tidak bisa mengeluarkan penetapan yang melampaui kewenangannya dalam kasus eksekusi uang negara di PT Hotel Indonesia Natour (HIN). Selain itu, ujar Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas di Jakarta, Jumat, penetapan eksekusi terhadap suatu objek juga tak bisa dilakukan tanpa persetujuan Kejaksaan. Hal itu dikatakan Muqoddas terkait putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang dinilai melampaui batas kewenangannya dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan antara perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT HIN dengan eks karyawannya. Busyro juga menambahkan, KY menunggu pengaduan Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang mewakili BUMN ini. "Sampai sekarang belum sampai di meja saya pengaduan itu. Saya belum bisa memberi penjelasan karena belum tahu duduk permasalahan kasusnya. Coba saya cek nanti," katanya. Hal senada disampaikan Koordinator Bidang Pelayanan Masyarakat KY, Zaenal Arifin secara terpisah. Menurutnya, laporan pengaduan yang diajukan oleh HIN dan JPN melalui Direktur Perlindungan dan Pemulihan Hak pada Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung (Kejagung), Sulistyaningdyah, belum sampai ke mejanya. "Saya yang menyeleksi pengaduan-pengaduan yang masuk ke KY. Pengaduan itu belum sampai ke saya," katanya. Sebelumnya, Kejagung meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk tidak mengeksekusi penetapan Ketua Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan yang sama terkait perselisihan perburuhan dengan sejumlah eks pekerjanya. JPN yang mewakili BUMN itu melakukan verzett (perlawanan) sekaligus mempertanyakan dasar putusan tertanggal 9 Juni 2008 lalu yang memerintahkan pengeksekusian uang negara sekitar Rp4,8 miliar sebagai realisasi pemutusan hubungan perburuhan itu. Perlawanan kejaksaan ini diajukan JPN melalui Direktur Perlindungan dan Pemulihan Hak Perdata dan Tata Usaha Negara Kejagung atas nama Jaksa Utama Madya Sulistyaningdyah mengajukan perlawanan itu melalui surat No.B-259/G/Gph.20/06/2008 tertanggal 20 Juni 2008. Surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Hubungan Industrial PN Jakpus tersebut mempertanyakan dasar penetapan eksekusi dan pelaksanaan "Aanmaning" (teguran atau peringatan) dari PN Jakpus. Karena amar putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) yang mengizinkan PT HIN melakukan PHK sesuai dengan UU No.22 Tahun 1957 tidak menyebutkan adanya eksekusi uang negara sejumlah itu dan kejaksaan menilai putusan jelas bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung no.11 Tahun 1999. Namun PN Jakpus lewat penetapannya tertanggal 18 Maret 2008 lalu juga mengeluarkan perintah sita eksekusi sekitar Rp1,4 miliar.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008