Brisbane, (ANTARA News) - Perluasan perkebunan sawit di Indonesia telah memberikan berkah kepada sebagian pihak namun kehadirannya juga memberi dampak sosial-ekonomi dan lingkungan terhadap kelestarian hutan di negara itu, kata Peneliti senior Universitas Nasional Australia (ANU), Dr.John McCarthy. Ia mengungkapkan pandangannya dalam penjelasan pers yang diterima ANTARA dari Staf Humas ANU, Martyn Pearce, di Brisbane, Kamis, sehubungan dengan proyek riset ANU dan Universitas Queensland tentang perkebunan sawit dan perubahan agraria di daerah-daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Proyek riset yang dipimpin McCarthy bertajuk "Oil palm and agrarian change on the Indonesian and Malaysia frontiers" ini didanai Dewan Riset Australia. McCarthy mengatakan, jutaan hektar lahan hutan Indonesia telah dikonversi menjadi perkebunan sawit. Di sekitar wilayah-wilayah perkebunan itu, hidup puluhan juta orang. Kehadiran perkebunan-perkebunan sawit ini bak "penggalian emas" massal di era modern yang memberikan keuntungan secara finansial kepada sebagian orang, katanya. Hanya saja, jika semua pihak serius merespons tantangan pemanasan global saat ini, diperlukan pemahaman yang sebaik mungkin tentang fenomena perkebunan minyak kelapa sawit ini mengingat kehadirannya menjadi penyebab utama deforestasi (kehancuran hutan) di Indonesia, katanya. Peneliti dari Sekolah Ekonomi dan Pembangunan Crawford yang menjadi ketua tim dalam proyek riset itu lebih lanjut mengatakan, perluasan perkebunan-perkebunan sawit khususnya di Indonesia tidak hanya berdampak pada perubahan lingkungan dan kerusakan hutan tetapi juga menimbulkan ketimpangan sosial. "Seandainya komunitas global ingin mengurangi kerusakan, penting sekali bagi kita memahami isu-isu di seputar `ledakan` dalam pertumbuhan perkebunan kelapa sawit," katanya. McCarthy melihat meningkatnya permintaan China dan India akan minyak kelapa sawit dan naiknya harga komoditas bahan pangan maupun bahan bakar nabati (bio-fuel) semakin mendukung prospek ekonomis komoditas ini. "Minyak sawit saat ini merupakan minyak terperbaharui kedua terbesar yang dikonsumsi di dunia, dan per unit wilayahnya, merupakan minyak nabati tertinggi di dunia. Ini benar-benar menguntungkan mereka yang terlibat (dalam bisnis ini). Pada tahun lalu saja, harga produk ini pun naik tiga kali lipat," katanya. Di satu sisi, perluasan perkebunan sawit ini memberi pendapaan yang besar kepada pemerintah, pengusaha dan pemilik lahan, namun pada saat yang sama, kehadirannya juga memicu konflik dan ketimpangan sosial, katanya. "Proyek riset kami ini bertujuan untuk memahami skala perubahan lingkungan dan dampaknya terhadap kehidupan jutaan orang kecil. Kami tertarik untuk mengkaji bagaimana kebijakan-kebijakan bisa diubah untuk membantu kehidupan masyarakat lokal dengan cara yang lebih berkesinambungan," katanya. Indonesia dan Malaysia merupakan dua produsen utama minyak kelapa sawit dunia. (*)

Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2008