Jakarta (ANTARA News) - Penuh Semangat dan agak meledak ketika berbicara adalah kesan yang tertangkap dari Presiden Brazil, Luiz Inacio Lula Da Silva. Dalam konferensi pers yang digelar bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu, Presiden Lula da Silva juga bersemangat menyerukan negara berkembang untuk merapatkan diri mengatasi krisis energi global yang melanda dunia. Dengan suara keras dan bersemangat, Lula da Silva menuturkan kesan yang diperolehnya setelah mengikuti pertemuan negara maju (G8) di Hokkaido, Jepang, pekan lalu, yang juga dihadiri oleh Presiden Yudhoyono. Lula da Silva mengatakan, negara maju justru tidak mau membicarakan masalah kredit macet di Amerika Serikat (AS) yang menyebabkan melemahnya mata uang AS dan menimbulkan kriris finansial global. Negara maju, lanjut dia, juga tidak mau membicarakan spekulasi di balik meroketnya harga minyak dunia yang akibatnya harus dipikul oleh negara berkembang. Ia juga mengecam sikap negara maju yang tidak mau membuka pasar untuk produk pertanian dan pemotongan subsidi pertanian, sementara harga pangan dunia semakin meningkat. Sementara itu, negara maju justru membebankan pemecahan pemanasan global kepada negara berkembang yang diminta untuk tidak menyentuh hutan tropisnya. "Sekarang setiap negara sudah punya angka emisi karbondioksida masing-masing, setiap orang dapat diskusi dengan cara obyektif. Jangan minta negara berkembang untuk menghentikan pertumbuhan, karena kita punya hak untuk tumbuh dan meningkatkan mutu hidup rakyat," katanya. Satukan pandangan Setelah tuturan panjangnya yang mengeritik sikap negara maju karena justru membebani negara berkembang di tengah krisis global, Lula da Silva kemudian meminta negara berkembang agar menyatukan pandangan guna mengatasi krisis global. Negara berkembang, lanjut dia, juga memiliki ratusan juta jiwa manusia yang ingin hidup dengan harga diri. Untuk itu, negara berkembang harus maksimal memanfaatkan potensi tanah, air serta teknologi yang mereka miliki. "Kita harus buka diskusi ini dan saya percaya, kita bisa buktikan sesuatu," ujarnya. Luila da Silva yang berusia 63 tahun telah menjabat Presiden Brazil selama dua periode, yaitu sejak 2002 dan terpilih lagi pada 2007 hingga 2010. Ia memulai karir politik sebagai aktivis serikat buruh dan pernah menjalani hukum penjara pada 1980 karena melancarkan aksi mogok para pekerja. (*)

Pewarta: muhaj
COPYRIGHT © ANTARA 2008