Jakarta (ANTARA News) - Fenomena partai politik mengejar kalangan artis untuk dicalonkan sebagai wakil rakyat pada pemilu kali ini, dinilai Center for Information and Development Studies (CIDES) sekadar menghambarkan dinamika politik kepartaian dan proses demokrasi di dalam parlemen. "Parpol hendaknya mencari figur terbaik dari lingkungan kadernya atau dengan menjaring tokoh masyarakat yang teruji, bukan selebritis," kata Direktur Eksekutif CIDES, Syahganda Nainggolan di Jakarta, Kamis. Menurut dia, sosok artis di Indonesia tidak dapat dijadikan ikon bagi demokrasi dan kalaupun ada hanya terwakili pada figur tertentu di antaranya almarhum Sophan Sophiaan, yang berasal dari kader partai. "Jadi kalau artisnya kader partai tidak ada masalah karena hal itu berbeda dari mereka (artis) yang instan serta cenderung dipaksakan. Perekrutan artis yang tiba-tiba jelas merusak pola rekrutmen dan kaderisasi di tubuh partai," katanya. Dikatakannya pula bahwa kehadiran artis tersebut tidak memberikan nilai tambah terhadap perjuangan sekaligus menumbuhkan kemajuan parpol di masyarakat luas. "Pada dasarnya dimensi artis memang berlainan `nature` dengan kehidupan politik, sehingga keberadaan artis dapat menjadi beban politik bagi perjalanan partai," ujarnya. Dia berpendapat, sejauh ini artis yang direkrut parpol menjadi anggota legislatif, pada kenyataannya juga tidak memiliki `kesanggupan` dalam menyuarakan aspirasi partai dan rakyat. Artis lebih sebatas aksesoris politik parpol yang berada di parlemen. "Dengan demikian, parpol harus menimbang serius antara memilih yang terbaik atau selebritis," katanya. Syahganda mengaku kuatir perlombaan menjaring artis pada sebagian parpol, di kemudian hari justru menyulitkan parpol itu sendiri untuk menemukan calon pemimpin bangsa yang berkualitas. "Termasuk menghambat peluang kader-kader partai yang berprestasi," kata Syahganda seraya menambahkan, hubungan dengan kalangan artis itu lebih tepat dalam konteks pengumpulan suara partai melalui kampanye Pemilu.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008