Surabaya (ANTARA News) - Pembauran antara etnis Jawa dengan etnis Tionghoa di Indonesia kurang harmonis sejak kolonialisme Belanda, kata Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair), Sarkawi B.Husein dalam seminar Pembauran di Graha Sawunggaling, Pemkot Surabaya, Kamis. Menurut dia, meski berbagai upaya pembauran terus digalakkan pemerintah dan berbagai elemen masyarakat. Namun pembauran antara masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa saat masih belum terlalu sempurna. "Hubungan harmonis antara keturunan etnis Tionghoa dan orang-orang Jawa termasuk masyarakat Surabaya mulai terganggu setelah Jawa di bawah kekuasaan Belanda sejak abad ke 18," katanya. Bahkan sekat-sekat dan perlakuan yang diskriminasi masih sering ditemui baik ditempat sosial, pendidikan hingga di lingkungan pekerjaan. Selain itu, kata dia, perbedaan suku juga berimbas pada diskriminasi sikap, perlakuan bahkan hingga gaji yang diberikan oleh perusahaan. Diketahui jauh sebelum Indonesia merdeka, kata Sarkawi justru hubungan antara kaum Jawa dan etnis Tionghoa berlangsung harmonis. Bahkan kerap terjadi pembauran melalui media perkawinan dan agama selain melalui makanan. Renggangnya hubungan kedua etnis tersebut, berawal dari kolonialisme Belanda yang menggerogoti proses asimilasi orang-orang Tionghoa. Bahkan sejak tahun 1740, orang-orang Tionghoa secara resmi dipaksa untuk tinggal di lingkungan terpisah atau kawasan pecinan. "Sejarah sudah membuktikan bahwa tanah air ini merupakan tempat berpijak bagi semua tanpa harus saling mencurigai," katanya. Untuk itu, kata Sarkawi yang perlu dilacak lebih dalam untuk saat ini adalah apa yang menyebabkan pembauran mengalami mati suri sehingga kita bisa memperbaikinya demi kejayaan bangsa Indonesia.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008