Jakarta (ANTARA News) - Tim Pengkaji Rancangan Undang-Undang Rumah Sakit Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melihat adanya kejanggalan dalam draf RUU tentang peyelenggaraan rumah sakit yang sedang dibahas Panitia Khusus (Pansus) di Komisi IX DPR RI. "Di dalamnya tidak ada tanggung jawab sosial rumah sakit kepada orang miskin atau saat keadaan gawat darurat. Naskah akademik dan uraian pasalnya juga tidak relevan dan tidak nyambung," kata Dr. Muh. Nasser, Sp.KK,D.Law, Wakil Ketua Tim Pengkaji Rancangan Undang-Undang Rumah Sakit PB IDI dalam diskusi bulanan PB IDI di Jakarta, Rabu. Pembuatan undang-undang tersebut, menurut dia, juga bertentangan dengan pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 karena tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam penyiapan undang-undang. "Draf RUU itu juga tidak mengakomodir doktrin `Samaritan Law`, pihak yang terlibat dalam rumah sakit tidak diberi ruang untuk berpikir apapun kecuali untuk menghasilkan uang bagi rumah sakit," katanya. Nasser menjelaskan pula bahwa penyelenggaraan rumah sakit sebenarnya juga tidak layak diatur dengan undang-undang yang berdiri sendiri karena alasan-alasannya tidak cukup memenuhi persyaratan penerbitan sebuah undang-undang. "Ini memang harus diatur, tapi peraturan penyelenggaraannya cukup diatur dalam peraturan perundangan di bawah undang-undang," katanya. Apalagi, ia melanjutkan, pasal-pasal strategis pengaturan penyelenggaraan rumah sakit juga bisa dimasukkan ke dalam amandemen Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Lain dengan Nasser, Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Dr.Adib A Yahya, MARS, mengatakan bahwa UU tentang rumah sakit sudah sangat mendesak untuk diterbitkan. "Karena masalah rumah sakit sudah semakin besar dan kompleks, jadi harus diatur. Secara yuridis ini juga diamanatkan dalam undang-undang, salah satunya pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945," katanya. Ia menambahkan, undang-undang itu juga diperlukan sebagai payung hukum yang tegas bagi pasien dan pengelola rumah sakit. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir juga berpendapat, UU tentang rumah sakit perlu diterbitkan untuk memberikan kejelasan mengenai pembagian tanggung jawab antara negara dan pengelola sarana pelayanan kesehatan. "Di samping itu, penetapan badan hukum rumah sakit juga mesti diatur karena itu berdampak langsung terhadap pelayanan," katanya. Namun Adib dan Husna sepakat, penyusunan rancangan undang-undang tentang rumah sakit harus dilakukan secara teliti dan hati-hati dengan mempertimbangkan dinamika perkembangan teknologi perumasakitan dan kedokteran. Adib menjelaskan, draf RUU tentang rumah sakit seharusnya antara lain memuat batasan dan fungsi rumah sakit, klasifikasi dan jenis rumah sakit, kepemilikan dan pengalihan kepemilikan rumah sakit, sarana minimal/esensial yang harus ada pada rumah sakit. Selain itu juga memuat persyaratan tenaga dan hubungan kerjanya dengan rumah sakit, ketentuan tentang hak dan kewajiban rumah sakit, tanggung jawab hukum, akreditasi dan penjagaan mutu layanan, fungsi sosial, prosedur perijinan dan prosedur pencabutan ijin, pembinaan rumah sakit dan sanksi-sanksi.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008