Serang (ANTARA News) - Status Gunung Anak Krakatau (GAK), di perairan Selat Sunda, Provinsi Lampung hingga kini masih waspada level II dan letusan dan kegempaan vulkanik berlanjut. "Sampai saat ini pengunjung wisatawan atau petugas pemantau tidak diperbolehkan mendekati titik gunung api Anak Krakatau karena berbahaya terkena lontaran material kerikil," kata kata Kepala Pos Pemantauan Anton Tripambudi di Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Rabu malam. Dia mengatakan, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, sejak menetapkan status waspada level II Kamis (3/7) lalu hanya memberikan rekomendasi radius satu kilometer dari titik letusan gunung. Artinya, kata dia, jika pengunjung, petugas dan nelayan hanya dapat melakukan pemantauan dari kejauhan satu kilometer. "Kami belum bisa melakukan pendakian ke Gunung Anak Krakatau karena masih menyemburkan material vulkanik dan gas beracun,"katanya. Menurut dia, selama beberapa hari terakhir prekuensi letusan dan kegempaan vulkanik Gunung Anak Krakatau kembali meningkat, setelah dua pekan lalu menurun. Meningkatnya aktivitas itu, ujar Anton, akibat terjadi pembesaran lubang kawah baru yang berlokasi di Bukit Selatan gunung. "Sampai saat ini aktivitas vulkanik Anak Krakatau terjadi pada kawah baru sehingga berlangsung cukup lama dibandingkan letusan tahun 2001 lalu, `katanya. Namun demikian, aktivitas letusan dan kegempaan Anak Krakatau kecil kemungkinan terjadi gelombang tsunami karena masih dinyatakan normal. Meskipun prekeunsi letusan dan kegempaan mengalami fluktuatif dengan interval kemunculan antara tiga sampai 20 menit. "Saya kira aktivitas letusan dan kegempaan Gunung Anak Krakatau tidak seperti tahun 1883 yang menewaskan 36 ribu lebih warga provinsi Banten dan Lampung," ujarnya. Data di Pos Pemantauan Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, sepanjang Rabu letusan dan kegempaan sebanyak 470 kali, yakni vulkanik A (Dalam) 33 kali, vulkanik B (Dangkal) 181 kali, letusan 95 kali, tremor 94 kali dan hembusan sebanyak 67 kali.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008