Banda Aceh (ANTARA News) - Amukan kawanan gajah Sumatera (elephas maximus sumatranus) yang mengobrak-abrik tanaman pertanian dan perkebunan rakyat di kawasan Pantee Rambong dan Babahlo, Pantee Purba/Ligan, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya hingga kini belum teratasi. Dua tokoh masyarakat Pantee Purba/Ligan, Ridwan Abbas dan Syamsuddin KPA, kepada ANTARA News di Banda Aceh, Selasa, menyebutkan bahwa kawanan gajah yang berjumlah enam ekor itu kini semakin beringas dan justri warga yang mencoba menghalau kembali kehabitatnya ikut diserang. Sejak kawanan gajah turun ke daerah itu, kini hektaran tanaman pertanian dan perkebunan rakyat, seperti pisang, palawija dan kelapa sawit habis diobrak-abrik satwa dilindungi ini serta beberapa orang petani nilam pernah dikejar. Namun, mereka berhasil menyelamatkan diri. "Kini para petani sudah sangat resah, namun upaya penanggulangan dari aparat Pemerintah Aceh Jaya belum ada," kata Ridwan Abbas. Kawasan Pemukiman Pantee Purba/Ligan termasuk salah daerah tertinggal di Kabupaten Aceh Jaya serta gangguan satwa liar berupa gajah dan harimau hampir sepanjang tahun terjadi. Sekitar tahun 1980-an dua penduduk setempat tewas diterkam harimau. Ketua Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi NAD, Andi Basrul, tidak berhasil dihubungi, sementara informasi lainnya menyebutkan gajah Sumatera sama halnya dengan gajah Asia lainnya, yakni pada siang hari panas mencari perlindungan ditengah hutan lebat. Di tengah hari panas, gajah sumatera sering mengunjungi sungai atau kolam untuk berendam. Gajah termasuk binatang yang senang mandi lumpur sebagai salah cara untuk mempertebal lapisan kulitnya untuk mencegah gigitan serangga. "Yang jelas, gajah sumatera gemar makan daun-daunan, rumput muda, berbagai jenis plasma dan tanaman merambat, termasuk jenis tanaman pisang dan jagung," kata seorang staf BKSDA NAD. Sementara itu, Muhammad Adan, pawang Uteun (tokoh adat di bidang kehutanan) di Aceh Jaya menyebutkan bahwa kasus konflik antara satwa dengan manusia sudah sangat sering terjadi di daerahnya, terutama gajah dan harimau, namun belum ditemukan cara penanggulangan secara efektif. "Selama ini, kami menghalau kedua jenis satwa liar dilindungi itu kembali ke habitatnya dengan membuat bunyi-bunyian atau api unggun disekitar pinggiran hutan," katanya. Pengusiran secara tradisional itu dinilai kurang efektif, karena paling-paling satwa liar dilindungi hanya bergeser sebentar ke habitatnya. Tidak berapa lama kemudian balik lagi, sehingga semua tanaman rakyat yang ditemukan pada saat melakukan bergerakan penjelajahan itu habis diobrak-abrik. "Bukan hanya tanaman pertenian rakyat tetapi gubuk yang dibangun sebagai tempat berteduh para petani yang ditemui disepanjang daerah jalur jelajahnya juga sering menjadi sasaran perusakan kawanan gajah," demikian Muhammad Adan. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008