Banda Aceh (ANTARA news) - Perpaduan kemeja panjang dengan lengan dilipat setengah dan celana katun, mengambarkan kesederhanaan penampilan keseharian Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Kuntoro Mangkusubroto. Lelaki yang akrab dipangil Pak Kun itu tampak lebih nyaman bisa bekerja di daerah yang luluh lantak diterjang bencana tsunami 26 Desember 2004, dibandingkan saat menjabat Menteri Pertambangan dan Energi di era Presiden BJ Habibie (1998-1999). "Apa yang saya kerjakan di sini (Aceh) sangat luar biasa. Sebagai menteri tidak ada apa-apanya dibanding sebagai Kepala BRR NAD-Nias. Kalau menteri, kebijakan dengan implementasinya sangat jauh, tapi di BRR sangat dekat. Pagi kita keluarkan kebijakan, sore hari implementasinya," kata dia. Sebab, menurut pria kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah pada 14 Maret 1947 itu berkerja di Aceh pada awalnya tidak mudah karena situasi (sebelum MoU Helsinki) sedang dilanda konflik bersenjata, di mana harus menegakkan berbagai aturan. "Tapi semuanya itu sudah berlalu, Aceh aman setelah MoU. Saya bersama jajaran BRR terus bertekad untuk membantu meringankan beban masyarakat yang sedang ditimpa musibah tsunami dan gempa di Nias," kata ayah dari lima putra/putri itu. Kesabaran dan ketekunan merupakan resep untuk tetap tegar menjalankan tugas di daerah bencana. Semua itu terlihat dalam keseharian Kuntoro sebagai pemangku jabatan rehabilitasi dan rekonstruksi di semua wilayah tsunami NAD-Nias. "Kita harus memiliki kesabaran dan ketekunan yang tinggi bertugas di daerah bencana, di mana harapan masyarakat korban itu sangat tinggi, tentunya mereka tidak bisa menunggu misalnya perlu rumah maka harapan tersebut harus segera terealisasi," ujar Kuntoro. "Jadi berkerja dalam suatu proses yang sangat diharapkan, ekspektasinya sangat tinggi dan itu bisa dimegerti karena kita di tengah-tengah orang susah, jadi kita harus mengeti bahwa mereka itu orang-orang lagi susah, meski terkadang ada hal yang sangat menjengkelkan," tambahnya. Meski terkadang menerima hujatan, namun Kuntoro mengaku masih bisa tersenyum sebab bekerja di daerah bencana perlu keikhlasan dan hati yang tulus. "Apapun cacian itu bisa kita terima, sebab orang-orang yang susah terkadang tidak bisa menunggu. Kerja di wilayah bencana adalah kerja di suatu lingkungan di mana desakan yang tinggi karena mereka dalam kesusahan," kata dia. Dosen jurusan Teknik Industri ITB itu menyatakan sesuatu yang membanggakan dirinya adalah pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana tsunami di Aceh yang dilakukan BRR menjadi model bagi penanganan bencana dunia. "Ada dua bencana internasional yakni topan Myanmar dan gempa Cina yang diminta pemikiran kita dalam menanggani masalah rekonstruksi dan rehabitasi pasca bencana itu. Masalah tersebut sangat membanggakan kita semua, terutama bangsa Indonesia," kata dia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008