Jakarta (ANTARA News) - Chakri Amirina, baru saja menyelesaikan pendidikannya di SMA Negeri 70 Bulungan Jakarta Selatan. Saat ini, ia tengah mempersiapkan diri untuk melanjutkan kuliah di Boston University Amerika Serikat jurusan Bio-kimia yang menjadi salah satu ilmu yang digemarinya. Di tengah penantian waktu keberangkatannya itu, Chakri memperoleh kabar gembira karena ia terpilih menjadi salah satu peserta jalur seleksi yang lolos untuk mengikuti Asian Science Camp (ASC) 2008 di Sanur, Bali, 3-9 Agustus 2008 bersama 350 siswa Indonesia dan 150 siswa dari negara-negara Asia lainnya. Kesempatan mengikuti ASC memang menjadi peluang langka sebab ada kemungkinan baru 20 tahun mendatang, Indonesia mendapat kesempatan kembali menjadi tuan rumah pertemuan bergengsi ini. Dikatakan bergengsi sebab sebanyak lima peraih Nobel dunia bidang Fisika dan Kimia hadir bersama sejumlah ilmuwan dunia lainnya dalam pertemuan tersebut. Peraih Nobel tersebut adalah Professor Masatoshi Koshiba peraih Nobel Fisika pada 2002 dari Jepang, Professor Yuan-Tseh Lee peraih Nobel Kimia pada 1986 dari Taiwan, Professor Douglas Osherroff peraih Nobel Fisika dari Amerika Serikat, Professor Richard Robert Ernst peraih Nobel Kimia dari Swiss dan Professor David Gross peraih Nobel Fisika pada 2004 dari Amerika Serikat. Sementara ilmuwan kelas dunia yang akan hadir adalah Professor Chintamani Nagesa Ramachandra Rao bidang Kimia dari India, Professor Myriam Sarachick bidang Fisika dari AS serta ilmuwan Indonesia antara lain Prof Nelson Tansu (Lehigh University), Rizal Fajar (Californai Institute Technology AS), Dr Teguh Triono (LIPI). Chakri mengisahkan, informasi mengenai ASC 2008 diperolehnya dari internet dan pengumuman di sekolah. "Sekitar bulan Mei 2008 lalu saya melihat pengumuman melalui internet kemudian mengirimkan aplikasi untuk mengikuti seleksi," kisahnya. Para calon peserta ASC 2008 diminta mengirimkan esai dalam bahasa Inggris yang terkait dengan alasan ketertarikan mereka untuk mengikuti ajang tersebut. "Saya menulis tentang ketertarikan pada bidang sains dan bagaimana sains bisa mengubah pandangan pada dunia. Saya juga mengungkapkan bagaimana ketertarikan saya pada sains sejak kecil," kisahnya. Chakri menuliskan bagaimana awalnya ia mulai tertarik pada dinosaurus sehingga ia kemudian bercita-cita ingin menjadi seorang paleontologi. "Bahkan saya sangat hafal semua jenis dan nama keluarga dinosaurus". Namun, seiring dengan bertambahnya usia, ketertarikan Chakri remaja berkembang pada ilmu tentang cuaca dan iklim sehingga kemudian mendorongnya keinginannya untuk menjadi seorang pengamat cuaca dan kemudian belajar dan menekuni pengetahuan tentang bagaimana membuat perkiraan cuaca dengan mengamati awan dan mempelajari formasinya. "Ketika masuk ke SMA, saya lebih tertarik untuk menekuni bio kimia, pengetahuan tentang genetika dan DNA dan ketertarikan yang lebih mapan ini kemudian mengantar saya untuk memilih kuliah di jurusan bio-kimia di Boston AS," katanya. Sains telah memberi pengaruh banyak dan telah menjadi bagian dari kehidupan Chakri. Setiap saat, pikiran gadis remaja itu selalu dipenuhi oleh keinginan tahu memecahkan misteri kehidupan dengan selalu menerapkan "why", "how", "where", "when", "what" of life. "Saya tidak akan beristirahat sampai saya mengerti bagaimana dan mengapa sesuatu itu bisa bekerja sebab saya tidak ingin ketinggalan dalam kegelapan dan tidak mengetahui tentang apapun yang seharusnya saya tahu. Karean itu, saya harus meraih semua yang saya dapat raih untuk memuaskan dahaga saya terhadap ilmu pengetahuan," ungkapnya. Tidak jauh berbeda dengan Chakri, gadis yang selama delapan tahun hidupnya dihabiskan bersama orangtuanya di Amerika Serikat, maka Maria Eliza siswa kelas II IPA, SMA Yayasan Pupuk Kaltim Bontang mengaku bangga bisa lolos seleksi ASC 2008. "Peminatnya pasti banyak, namun sedikit yang bisa lolos seleksi dan saya salah satu diantaranya. Karena itu, kesempatan ASC tidak akan saya sia-siakan sebab selain bisa bertemu pelajar-lejar berprestasi dari dalam dan luar negeri. Lebih penting bagi saya bisa bertemu langsung para peraih Nobel dan ilmuwan terkenal dunia," katanya. Maria memang agak sedikit cemas karena bakal bertemu dengan orang-orang pintar dari berbagai negara di dunia, tetapi ia memupuskan rasa kuatirnya itu dengan mempersiapkan sejumlah pertanyaan yang dirasakan perlu diperdalam jawabannya dari para ilmuwan tersebut. Mendorong ilmuwan Indonesia "Asian Science Camp 2008 yang mengusung tema "See the Future, Be the Future", diharapkan mampu menarik minat generasi muda dapat terinspirasi oleh kehadiran dan kisah-kisah para peraih Nobel. Generasi muda pun diharapkan akan menjadi bagian dari masa depan itu. Sejak 1961, peraih Nobel Fisika selalu diraih murid peraih Nobel Fisika," kata Ketua Surya Institute dan Fisikawan Indonesia, Prof Yohanes Surya. Siswa peserta seluruhnya melalui seleksi yang ketat oleh International Board of Asian Science Camp (IBASC), organisasi nirlaba yang terdiri dari institusi-institusi pendidikan non pemerintah. Sebagian siswa peserta yang diundang langsung adalah siswa peraih kejuaraan lomba sains nasional maupun internasional, antara lain peraih prestasi di ajang International Physics Olympiad (IPhO), Asian Physics Olympiad (APhO), International Biology Olympiad (IBO), International Conference for Young Scientist (ICYS) dan berbagai ajang lomba sains di antara remaja. "Selama enam hari di Bali, pelatihan akan mencakup seminar dengan para peraih nobel, dialog antara pembicara dan parasiswa, hingga lomba poster ilmiah. Para peraih nobel ini juga akan bergiliran duduk bersama para siswa saat jamuan makan, sehingga para siswa akan memperoleh kesempatan untuk berdialog langsung dengan setiap pembicara dalam kelompok yang kecil," katanya. Sementara itu, Anugerah Pekerti Ph.D, anggota Dewan Direksi Internasional untuk Habitas for Humanity International, mengatakan Indonesia memiliki banyak bibit unggul bidang sains yang berpotensi menjadi ilmuwan, salah satunya dalah Prof Yohanes Surya, Fisikawan Indonesia. "Setidaknya pertemuan ASC 2008 mampu membangkitkan motivasi generasi muda Indonesia untuk menjadi ilmuwan dan bahkan peraih nobel, sebab masih sedikit orang-orang Indonesia yang kini menjadi murid dari para periah Nobel. Kita harapkan dari diskusi bidang sains siswa-siswa dengan para ilmuwan dunia dan peraih Nobel yang hadir bisa mendorong kedua belah pihak untuk membuka komunikasi lanjutan melalui surat elektronik," katanya. Anugerah Pekerti mengaku prihatin melihat pembinaan para siswa peraih prestasi yang hanya sebatas memperoleh penghargaan, karena seharusnya terus diikat dengan berbagi cara agar anak-anak tersebut tetap memiliki kecintaan pada Tanah Air. "Kalau sekarang ini banyak anak-anak pemenang olimpiade memilih menerima beasiswa yang ditawarkan oleh berbagai universitas di luar negeri, tidak jadi masalah namun pada waktunya ketika mereka dibutuhkan harus kembali ke Tanah Air," katanya. Untuk itu, pemerintah perlu menjaga kesinambungan komunikasi serta memberikan fasilitas memadai bagi kebutuhan mereka. "Yang dimaksud bukan fasilitas fisik seperti rumah atau materi tetapi, memahami kebutuhan mereka untuk melanjutkan ketekunan mereka dalam bidang penelitian, misalnya dengan memberikan fasilitas laboratorium memadai," tambahnya. Anugerah menolak pandangan bahwa orang-orang Indonesia yang memilih luar negeri sebagai pilihan melanjutkan sekolah sebagai tidak nasionalis. "Tidak benar sebab justru kita sudah mendapatkan SDM yang sudah jadi atau mapan, sehingga mereka tinggal menerapkannya untuk memajukan bangsa Indonesia. Saya sangat percaya seindah-indahnya negeri orang, masih lebih baik di negeri sendiri", tambahnya. (*)

Pewarta: Oleh Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2008