Semarang (ANTARA News) - Kemunduran etika politik kalangan elite pada era reformasi membuat bangsa Indonesia menjadi "miris", kata Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X. "Kemunduran ditandai dengan menonjolnya sikap pragmatisme perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa bisa dibangun hanya melalui kemenangan kelompoknya," katanya pada acara "Temu Akbar Alumni dan Dies Natalis ke-42 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip di Semarang, Minggu. Jika dirunut berdasarkan logika yang ada pada masing-masing kelompok, katanya, nyaris tidak ada yang namanya kepentingan bersama untuk bangsa karena yang ada hanya kebersamaan fatamorgana. Menurut dia, seolah-olah mereka bertindak untuk kepentingan bersama, padahal hanya untuk kepentingan kelompok yang terkoleksi. Hampir tidak ada kesepakatan di mata para politisi bahwa bangsa Indonesia akan dibawa ke arah mana. "Mereka merasa benar sendiri dan tidak pernah mau menyadari dibalik pendapat yang mereka utarakan ternyata mengandung kekurangan yang bisa ditutup kelompok lain. Prinsip menerima kebenaran pendapat lain sudah mati dan tertimbun arogansi untuk menguasai kelompok lain," katanya. Ia mengatakan, alam raya memang penuh dengan perbedaan, namun perbedaan pendapat di Indonesia justru menjadi penghalang untuk mencapai visi dan misi bangsa. "Betapa sedih melihat demokrasi yang kita rasakan ternyata dibangun elite politik dengan cara manipulatif dan penuh rekayasa untuk menjatuhkan lawan," katanya. Dalam praktik politik keseharian, katanya, politik sering bermakna kekuasaan yang serba elitis daripada kekuasaan berwajah populis yang bertujuan menyejahterakan rakyat. Politik identik dengan cara bagaimana meraih kekuasaan, dengan cara apa pun meski bertentangan dengan pandangan umum, katanya. Oleh karena itu, katanya, selain aturan legal formal berupa konstitusi, politik dan praktiknya perlu dibatasi dengan etika. "Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang, dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan dijauhi," katanya. Etika politik bersifat umum yang dibangun melalui karakteristik masyarakat sangat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur secara legal formal. "Jadi etika politik lebih bersifat konvensi dan aturan moral," katanya. Dia mengatakan, akibat luasnya cakupan etika politik sering keberadaannya menjadi longgar, mudah diabaikan tanpa rasa malu, dan bersalah. Ditunjang alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomi (uang) yang begitu kuat membuat rasa malu dan bersalah diabaikan. Hal itu, katanya, berdampak terhadap memudarnya nilai-nilai etis sehingga mengabaikan moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena itu, lalu berkembang budaya permisif (semua serba boleh) yang memudahkan untuk mencapai kekuasaan dan uang. "Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar pejabat," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008