Jakarta, 4/8 (ANTARA) - Secara kumulatif, jumlah titik panas (hotspot) tertinggi periode Januari hingga Juli tahun 2008 adalah di Propinsi Riau, yaitu sebanyak 1.713 titik, menyusul kemudian Kalimantan Barat dengan 809 titik, Jambi 655 titik, Sumatera Barat 455 titik, dan Sumatera Utara 405 titik. Sedangkan akumulasi titik panas tiap bulannya, tercatat bulan Mei ada 1.852 titik panas, Juni 828 titik, dan Juli sebanyak 910 titik panas (hotspot). Meskipun terlihat kecenderungan menurun, namun jumlah titik panas dalam tiga bulan terakhir, yaitu Mei, Juni, dan Juli adalah yang tertinggi dalam tahun 2008 ini. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau. Berdasarkan indikasi hotspot satelit NOAA, dalam lima tahun terakhir ini, kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan rata-rata 30%, dan di luar kawasan hutan 70%. Kebijakan pengendalian kebakaran hutan terdiri dari 3 (tiga) bidang, yaitu teknis operasional, kelembagaan, dan peningkatan peranserta masyarakat. Untuk menekan hotspot dilakukan upaya penyiapan sarana dan prasarana, kerjasama, pemberian insentif masyarakat sekitar hutan, peningkatan patroli, dan revitalisasi Manggala Agni. Untuk penguatan kelembagaan dalkar, telah dibentuk Manggala Agni sebanyak 72 regu dengan jumlah personil 1.560 orang. Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis (SMART) di 8 propinsi, kemudian dibangun Daerah Operasional (Daops) di 29 lokasi dengan prasarana seperti pompa, slip on, mobil atau motor, dan heli. Lebih lanjut, Departemen Kehutanan membentuk organisasi pengendalian kebakaran di semua tingkatan. Untuk mencegah dan mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau tahun 2008 ini, para kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan di propinsi-propinsi rawan kebakaran seperti Riau, Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat diminta untuk melakukan langkah-langkah antisipasi dan meningkatkan kegiatan koordinasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Langkah-langkah antisipasi dapat ditempuh antara lain dengan meningkatkan kesiapsiagaan sumberdaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di wilayah masing-masing, segera menindaklanjuti data hotspot yang terdeteksi di wilayahnya dilanjutkan groundcheck serta melakukan pemadaman dini jika ditemui kebakaran. Langkah antisipasi lainnya adalah mulai melaksanakan patroli rutin untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan sedini mungkin. Untuk mendukung kelancaran arus informasi yang terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan, setiap wilayah diminta mulai mengaktifkan Posko Siaga dan melaporkan upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan kepada Direktur Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Indikasi awal terjadinya kebakaran hutan dapat diketahui melalui titik panas (hotspot) yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration) yang memiliki teknologi AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Secara sederhana, satelit NOAA akan mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang dideteksi berkisar antara 3100K/370C (untuk deteksi malam hari), dan 3180K/450C untuk siang hari. Titik panas tersebut akan diproyeksikan menjadi suatu piksel pada sebuah peta yang juga menunjukkan koordinat geografisnya. Perlu digarisbawahi, suatu hotspot bukan berarti kebakaran. Apabila hotspot dideteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari berturut-turut atau lebih, diduga pada lokasi tersebut telah terjadi kebakaran atau pembakaran. Untuk keterangan tambahan, silakan hubungi Masyhud, Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Telp: (021) 570-5099, Fax: (021) 573-8732

Editor: PR Wire
COPYRIGHT © ANTARA 2008