Jakarta (ANTARA News) - Penerapan sistem dengan teknologi baru dalam pembuatan paspor sejak 25 Juli 2008 dinilai gagal karena berdasarkan peninjauan di lapangan dan laporan dari beberapa daerah, sistem dengan teknologi baru itu justru memperpanjang antrian di beberapa kantor imigrasi. Demikian diungkapkan Anggota Komisi III (bidang hukum dan keamanan) DPR RI Aulia Rahman di gedung DPR/MPR Jakarta, Senin terkait penerapan sistem baru pembuatan paspor yang ditangani sebuah perusahaan swasta. Dia menyatakan, sampai hari ini pelayanan penerbitan paspor di seluruh Indonesia gagal total dan puluhan ribu pemohon paspor termasuk yang diajukan calon TKI terbengkalai. Padahal jumlah rata-rata pembuat paspor per hari sebanyak 8.000 orang, 4.500 di antaranya calon TKI dan 3.500 pemohon umum. Jika dalam waktu 20 hari sistem penerbitan paspor baru tidak segera diatasi sebagaimana dipersyaratkan dalam Rencana Kerja dan Syarat-syarat Tender (RKS), maka akan terjadi penumpukan permohonan paspor sekitar 160 ribu orang, 90 ribu diantaranya calon TKI dan 70 ribu lainnya paspor umum. "Kondisi ini memicu terjadinya kekisruhan," katanya. Kekisruhan dalam pembuatan paspor telah terjadi di Bandung. Menurut Aulia, sistem baru itu ditangani oleh perusahaan yang dimiliki oleh istri Anggota Komisi III DPR. Ada dugaan pemanfaatan jabatan untuk kepentingan bisnis. Indikasinya, kata Aulia, nilai tawaran dalam tender yang diajukan perusahaan tersebut Rp103 miliar atau tertinggi dibanding penawar lainnya, sedangkan nilai proyeknya Rp107 miliar. Namun dengan tawaran tertinggi tersebut justru yang memenangi tender. Di samping dipertanyakan mengenai tawaran tertinggi yang justru ditetapkan sebagai pemenang tender, kemampuan perusahaan ini juga tidak sepadan dengan janji yang diberikan. "Sistem baru yang semula dijanjikan akan memperlancar pembuatan paspor, justru memperlambat sehingga di kantor-kantor imigrasi terjadi antrian," katanya. Kalangan Anggota Komisi III DPR telah mengingatkan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta dalam raker sebelum masa reses DPR RI. "Kita sudah ingatkan dalam Raker sebelum masa reses. Menteri tidak tahu-menahu dan meminta publik ikut melakukan pengawasan atas penerapan sistem baru dalam pembuatan paspor," katanya. Dia mengemukakan, penerapan sistem baru pembuatan paspor ini ditangani sepenuhnya oleh pejabat setingkat direktur di Depkum dan HAM dan kepala proyek. "Pelaksanaan proyek ini sangat mengecewakan masyarakat. Ini kita minta perhatian dari menteri agar dapat dibenahi karena ada unsur kerugian negara dari tersendatnya pembuatan paspor," katanya. Dia mengemukakan, program pemerintah untuk mengadakan sistem penerbitan paspor baru pada dasarnya sangat bagus apabila pelaksanaannya sesuai dengan Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS). Namun implementasinya sejak 25 Juli hingga 4 Agustus gagal. Kegagalan itu karena ada diduga karena penipuan spesifikasi tender dengan kenyataan di lapangan. Penipuan ini diduga melibatkan panitia tender dan perusahaan yang dinyatakan sebagai pemenang tender. Dia mengemukakan, data sidik jari pemohon paspor sejak 6 Pebruari 2006 hingga 25 Juli 2008 sejumlah 4.533.191 milik imigrasi belum dipindahkan ke database sistem penerbitan paspor baru oleh pemenang tender. Akibatnya, pemegang paspor dapat membuat paspor lebih dari satu (tidak ada pencegahan duplikasi). Dengan demikian, kata dia, keadaaan ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan koruptor dan pelaku kriminal serta rawan bagi keamanan negara. Selain itu, "printer" paspor menggunakan 2 "Cartridge" (semestinya 4 "Cartridge") yang mengakibatkan kecepatan dalam pelayanan menurun drastis. Akibatnya negara dirugikan setidaknya Rp8 miliar. "Central Server" yang super canggih ("superdome") sesuai RKS ditiadakan sehingga berpotensi merugikan negara sebesar Rp6 miliar. Karena itu, BPK dan KPK perlu melakukan investigasi atas dugaan kerugian negara. Dia menyatakan, penalti atas keterlambatan per hari sebesar Rp450 juta sesuai RKS dibiaskan dengan denda 1 per-mil/hari dan maksimal 5 persen dari nilai kontrak.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008