Jakarta (ANTARA News) - Pencekalan beberapa pengusaha batubara oleh Depkumham atas permintaan Depkeu dianggap bisa menjadi preseden buruk bagi iklim usaha mengingat pangkal permasalahan sebenarnya hanyalah masalah perbedaan persepsi. "Ini makin membuat iklim yang kurang baik bagi dunia usaha bila tidak segera diselesaikan, karena masalah sebenarnya adalah perbedaan persepsi," kata Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Erwin Aksa di Jakarta, Kamis. Menurut Erwin, perbedaan persepsi yang dimaksud adalah terkait pengembalian restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang belum dilakukan Ditjen Pajak sehingga pengusaha kemudian menunda pembayaran royalti usaha batubara. "Ini sangat kita sesalkan karena mereka itu adalah pengusaha besar nasional dan bukan tipikal pengusaha yang akan lari dari kewajiban mereka," jelasnya. Untuk menyelesaikan kasus tersebut, jelasnya, pemerintah, dalam hal ini Ditjen Pajak Depkeu harus melakukan negosiasi bilateral dengan para pengusaha itu sehingga tidak ada yang dirugikan dari kasus itu. "Saya kira itu hanya tekanan dari Ditjen Pajak agar pengusaha batubara dalam hal ini lebih patuh," katanya. Sementara itu, Dirjen Kekayaan Negara Depkeu Hadiyanto mengatakan, para pengusaha tidak dapat menunda pembayaran royalti hanya karena masih adanya tunggakan restitusi PPN. Dia mencontohkan, seandainya orang tua memiliki dua anak dan sang orang tua memiliki utang pada anak yang satu serta piutang pada anak yang lain, maka tidak berarti utang itu tidak perlu dibayar dan dianggap lunas. "Kan jumlah piutang negara dari royalti itu Rp3,26 triliun, itu adalah uang publik yang sudah jatuh tempo yang harus dibayarkan, oleh karena itu kewajiban saya untuk melakukan penagihan," jelasnya.(*)

Pewarta: rusla
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008