Mataram, (ANTARA News) - Pengamat hukum dan politik Universitas Mataram, H. Satriawan Sahak menilai pemberian baju berlabel koruptor kepada para tersangka/terdakwa, merupakan terobosan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadapi kelesuan hukum. "Baju berlabel koruptor tidak perlu dipolemikan apalagi sampai dipolitisir, karena KPK yang dikenal tidak punya persneling mundur telah memiliki kewenangan luar biasa atas praktek hukum selama ini," katanya kepada wartawan di Mataram, Sabtu. Menurut dia, label koruptor yang diwacanakan KPK dan mendapatkan tanggapan serius berbagai elemen sebenarnya bukan hal aneh apalagi melanggar Hak Azasi Manusia (HAM). Kehadiran KPK memberantas korupsi yang kian marak merupakan terobosan atas kelesuan hukum yang selama ini justru membelenggu aparat hukum itu sendiri. Meskipun secara tegas telah diatur bagaiamana proses hukum atas seseorang dan adanya azas praduga tidak bersalah yang harus dijunjung, tetapi kewenangan UU yang diberikan kepada KPK justru menjadi tidak berlaku. KPK sebagai alat penegak hukum, memiliki kewenangan superbody yang tidak memerlukan izin dalam menangkap, menyadap ataupun menggeledah pihak-pihak yang ditengarai terlibat dalam tindak pidana korupsi. "Dengan kewenangan yang diberikan UU itu, maka rencana pemberian baju label koruptor bukanlah hal yang perlu dipolemikkan, apalagi sampai menuding KPK melanggar HAM," tegasnya. Dikatakan, berdasarkan pengalaman dan catatan yang ada selama KPK bekerja efektif nyaris tidak satupun dari kasus korupsi yang ditangani itu yang luput dan semuanya diputus oleh Majelis Hakim Tipikor terbukti. Sehingga tampaknya azas praduga tidak bersalah yang selama ini harus dijunjung tinggi menjadi tidak memiliki makna apa-apa, kecuali kasus hukum itu ditangani oleh pihak lain. Adanya perbedaan yang cukup mencolok diantara penegak hukum tersebut terutama kekhususan KPK, menjadikan baju berlabel koruptor kepada tersangka yang sedang dalam proses merupakan hal yang biasa. . "Jadi status tersangka dan terpidana dilingkup KPK sebenarnya tidak ada bedanya, karena itu sebutan koruptor yang akan diberikan kepada tersangka menunjukkan kepada para tersangka itu tidak perlu lagi berkelit membela diri, mereka itu memang sudah terpidana," katanya. Menjawap pertanyaan, apakah pemberian label koruptor tidak mendahului putusan majelis hakim Tipikor, Satriawan menyatakan, justru disitulah kerancuannya. KPK dan Hakim Tipikor senantiasa sejalan, sehingga selama ini belum pernah ada putusan majelis hakim Tipikor yang bertentangan dengan tuntutan KPK, apalagi membebaskan terdakwa. Mengenai hubungan label koruptor dengan menumbuhkan rasa malu bagi yang bersangkutan ataupun keluarganya, Satriawan menyatakan tidak efektif, sebab rasa malu itu tidak tumbuh oleh pemberian label koruptor pada baju yang digunakan. Rasa malu ataupun jera tidak mungkin dapat tumbuh hanya dengan pemberian label koruptor, dualisme hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi ditanah air merupakan kendala tersendiri. Karena para tersangka korupsi yang saat ini ditangani institusi kejaksaan diberbagai daerah masih bisa berleha-leha dengan jabatan yang dipangkunya. Bahkan dengan kekuasaan yang masih dijabat, meskipun sudah berstatus tersangka tindak pidana korupsi mereka dengan keluarganya merasa tidak bersalah. Kalau rasa tidak bersalah itu tidak ada karena penerapan hukum yang dilakukan tidak tegas, sebagaimana yang dilakukan KPK bagaimana mungkin bisa mengharapkan tumbuhnya rasa malu. "Di NTB banyak pejabat ataupun elit politik yang berstatus tersangka yang masih bebas dan bangga menggunakan fasilitas negara yang dimilikinya, mereka tidak merasa bersalah dan bagaimana mungkin diharapkan tumbuh rasa malu," demikian Satriawan Sahak.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2008