Magelang, (ANTARA News) - Orangtua jangan sekali pun menyuruh anak-anak membeli rokok, sebab bisa mendorong rasa ingin tahu mereka tentang rokok sehingga akan mencobanya, kata pengamat sosial Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM), Kanthi Pamungkas Sari. "Jangan menyuruh anak untuk membelikan rokok," katanya di Magelang, Senin (18/8) mengomentari desakan sejumlah kalangan antirokok agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram rokok. Menurut dia, anak-anak yang biasa disuruh membelikan rokok akan menjadi penasaran tentang fungsi rokok bagi orang dewasa dan ingin mencoba mengisap rokok. Kanthi yang juga pengajar sosiologi di Fakultas Agama Islam UMM itu mengatakan, pemilik warung atau toko yang menjual rokok sebaiknya tidak melayani pembeli rokok yang masih anak-anak dengan berbagai alasan. Ia mengatakan, orang dewasa yang merokok di depan anak-anak juga berpengaruh terhadap dorongan anak untuk menirunya. "Tidak akan efektif mengeluarkan larangan merokok bagi anak-anak kalau orang dewasa tidak dapat menjadi contoh," katanya. Rencana MUI mengeluarkan fatwa haram rokok, katanya, telah menimbulkan kontroversi karena persepsi setiap orang dipengaruhi antara lain oleh referensi, pengalaman, dan kepribadiannya. Mereka yang tidak mendukung fatwa haram rokok, katanya, antara lain berpandangan bahwa industri rokok telah memberikan pendapatan relatif besar bagi negara, banyak keluarga menggantungkan pendapatan hidupnya dari industri rokok, dan relatif banyak kegiatan menggunakan sponsor industri rokok. Berdasarkan survei, katanya, sekitar 93,9 persen remaja melihat iklan rokok baik di televisi maupun acara-acara remaja dan olahraga. Sebagian masyarakat juga berpendapat bahwa merokok sebagai hal biasa karena mereka belum merasakan bahaya rokok bagi kesehatan. "Ada yang beranggapan merokok dapat mengurangi tekanan, sebagian lain merasa dengan merokok mendapatkan kesan keren dan jantan, seperti halnya iklan rokok yang memberikan imej jantan dan keren," katanya. Mereka yang biasa merokok, katanya, akan merasa berat untuk meninggalkannya karena rokok mengandung zat adiktif sehingga kecanduan untuk menikmatinya. Data badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk kesehatan (WHO) menujukkan peningkatan jumlah perokok anak Indonesia yang mencapai sekitar 37 persen. Sekitar 70 juta anak Indonesia sudah menjadi perokok dan umumnya dipengaruhi lingkungan orang dewasa terdekatnya yang juga perokok. "Merokok bagi anak-anak berbahaya sebagai pintu masuk narkoba," katanya. Ia mengatakan, jumlah orang sakit yang antara lain sebagai akibat merokok cenderung semakin tinggi. Berbagai penyakit akibat merokok antara lain kanker paru-paru dan TBC yang saat ini di Indonesia mencapai peringkat ketiga di dunia. Data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 70 persen perokok aktif di Indonesia berasal dari keluarga miskin. Mereka memprioritaskan rokok ketimbang berbagai kebutuhan pokok lainnya. Rokok, katanya, menempati posisi kedua pemenuhan kebutuhan setelah beras. Alokasi dana untuk pembelian beras sekitar 14 persen dari total pendapatan keluarga, sedangkan rokok sekitar 12 persen. Meskipun fatwa MUI tentang haram rokok tidak memiliki kekuatan hukum seperti halnya produk perundang-undangan lainnya, katanya, bisa memengaruhi lahirnya peraturan lain yang mengatur hukuman bagi pelanggar. Secara individu, katanya, fatwa itu bisa memengaruhi perilaku sebagian umat Islam. Fatwa itu harus dipandang sebagai upaya mencegah peningkatan jumlah perokok dan melindungi masyarakat khususnya generasi muda dari bahaya merokok. Menurut dia, masalah bahaya merokok sesungguhnya bukan hanya milik umat Islam tetapi masalah global sehingga harus diatasi secara bersama-sama.(*)

Pewarta: wibow
Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2008