Jakarta (ANTARA News) - Rencana pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan defisit anggaran melalui sumber pinjaman dalam negeri dinilai beresiko mendorong beban bunga utang pemerintah, terutama saat kinerja ekspor mengalami pelemahan. Ekonom Institute for Development of Economy and Finance (Indef), M Iksan Modjo, di Jakarta, Senin, menduga rencana pemerintah pada 2009 yang akan menerbitkan surat berharga negara (SBN) netto hingga Rp110,7 triliun dan menarik pinjaman luar negeri hanya sebesar 2,6 miliar dolar AS untuk menutupi defisit anggaran Rp99,6 triliun atau 1,9 persen dari PDB lebih dimaksudkan untuk menurunkan rasio pembayaran utang menjadi 7-8 persen dari PDB, sebagaimana target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Dominasi pinjaman dalam negeri dan pembiayaan luar negeri neto yang selalu minus menyebabkan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri lebih besar dibanding penarikan jumlah utang luar negeri baru. Hal ini sesuai tujuan mengurangi porsi utang luar negeri dalam pemiayan defisit. Dengan porsi pembiayaan demikian, pemerintah optimistis mampu mencapai rasio utang sebesar 30 persen atas PDB pada tahun 2009. Angka ini jauh lebih rendah dibanding rasio utang yang pada tahun 2004 mencapai 54 persen terhadap PDB. Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto mengatakan, pemerintah sama sekali tidak mengkhawatirkan beban suku bunga pinjaman dalam negeri yang lebih tinggi dibandingkan dengan pinjaman luar negeri seiring diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 54/2008 tentang Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri. "Setiap instrumen pembiayaan dalam bentuk utang, termasuk pinjaman dalam negeri, secara spesifik mempunyai profil cost dan risiko berbeda satu sama lain," ujarnya. Rahmat mengungkapkan, penentuan suku bunga yang rendah dari pinjaman dalam negeri masih bisa diupayakan pemerintah melalui negosiasi dengan kalangan kreditor. Selain itu, suku bunga rendah juga masih bisa ditekan karena porsi pinjaman hanya diambil berdasar kebutuhan riil pemerintah dan kondisi pasar yang berpeluang positif dalam masa mendatang. Menurut Rahmat, pinjaman dalam negeri nantinya dialokasikan secara khusus untuk digunakan membiayai pelaksanaan proyek-proyek pemerintah. Hal ini sesuai fungsinya sebagai salahsatu instrumen baru dalam pembiayaan APBN. Anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, sebelumnya juga menyangsikan penerbitan PP Nomor 54/2008 tentang Tata Cara Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri. Menurutnya, PP ini tidak akan efektif menggantikan fungsi pinjaman luar negeri mengingat sulitnya kalangan kreditor domestik memberikan pinjaman dengan suku bunga rendah. "Para kreditor dalam negeri pasti akan minta suku bunga pinjaman yang tinggi, kecuali kalau pemerintah menginjak kakinya supaya mau memberikan pinjaman," ujarnya. Dradjad menuturkan, saat ini pasar pinjaman dalam negeri juga dalam kondisi yang tidak menguntungkan mengingat ekspektasi inflasi yang tinggi diproyeksi mendorong permintaan imbal hasil (yield) yang mahal.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008