Jakarta (ANTARA News)- Mantan anggota DPR RI Syamsul Balda mengatakan aparat penegak hukum harus mengusut tuntas latar belakang pengucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan uang negara sebesar Rp144,536 triliun kepada 48 bank penerima dana. "Ada nuansa keterlibatan multi pihak melakukan tindak kriminal dengan alasan penyelamatan ekonomi, dan kepentingan politik ketika pengucuran dana tersebut," ucapnya dalam acara seminar "Tindak Lanjut Vonis Artalyta dan Usut Skandal BLBI" di Jakarta, Rabu. Menurut Syamsul Balda, selama ini penegak hukum tidak pernah mengusut latar belakang pengucuran dana tersebut. Hal itu perlu dilakukan untuk mengusut tuntas kasus "perampokan" uang negara secara besar-besaran itu. "Harus diingat bocornya surat dari Mensesneg, sebelum dana BLBI dikucurkan yang menyebutkan ada keinginan dari pemerintah agar BI menyelamatkan perbankan melalui mekanisme bantuan likuiditas. Aspek ini harus diangkat juga ke permukaan," katanya. Selain pemerintah, pejabat Bank Indonesia pun harus turut bertanggung jawab karena berdasarkan laporan hasil audit investigasi Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), pengucuran dana sebesar Rp138,442 triliun atau sekitar 96 persen dari jumlah total dana BLBI kepada 48 bank menyimpang. "Ke-48 bank penerima BLBI adalah 10 bank beku operasi (BBO), lima bank take over (BTO), 18 bank beku kegiatan (BBKU) dan 15 bank dalam likuidasi (BDL). Pengucuran tersebut jelas melanggar ketentuan yang berlaku, karena ada kelemahan sistem dan kelalaian dalam penyaluran dana likuiditas ," ujarnya Sementara menurut anggota DPR dari Fraksi PKS Suripto, pengusutan secara tuntas kasus BLBI perlu dilakukan. Jika tidak, katanya, utang obligor tersebut harus ditanggung oleh rakyat Indonesia, sedangkan para pengemplang selama ini tidak terusik hukum. Pengusutan secara hukum harus dilakukan karena jika tidak, katanya, utang tersebut akan ditanggung oleh rakyat Indonesia selama 700 tahun. Dengan asumsi pembayaran dilakukan sebesar Rp50 triliun setiap tahun. "Saat ini jumlah utang BLBI berikut dengan bunganya sudah mencapai Rp14.000 triliun. Penambahan nilai yang signifikan tersebut terjadi karena bunganya membengkak disebabkan penundaan pembayaran," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008