Denpasar (ANTARA News) - Kebutuhan investasi untuk pengaturan distribusi dan sanitasi air di 34 negara Asia tahun 2007-2025, setiap tahunnya diprediksi mencapai 1.040 miliar dolar AS atau setara sekitar Rp9.360 triliun. Padahal dana investasi yang ada untuk kebutuhan tersebut saat ini diperkirakan hanya berjumlah sekitar 580 miliar dolar AS atau setara Rp5.220 triliun, sehingga masih kekurangan 460 miliar dolar AS, setara dengan Rp4.140 triliun. Hal itu disampaikan Herbert Oberhaensli, asisten wakil presiden Head Economics and International Relations, Nestle S.A, Swiss, pada seminar kepentingan strategis air di Asia (The Strategic Importance of Water in Asia) di Nusa Dua, Bali, Jumat. Seminar tersebut diselenggarakan yayasan politik pemerintah federal Jerman, Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Asia yang berkedudukan di Singapura, diikuti 27 jurnalis dan pihak lain dari berbagai negara Asia, termasuk dari beberapa media dan LSM Indonesia. Herbert Oberhaensli mengupas kebutuhan investasi distribusi air bagi pertanian dan menjaga tingkat higienitasnya tersebut dalam makalah tentang resiko kekurangan air dalam produksi pangan dan pertanian dalam perspektif makro (The Risks to Food Production and Agriculture from a Water Shortage in Asia. A Macro Perspective). Ia menyeritakan bahwa tingkat kekeringan sungai-sungai besar di Asia pada musim kemarau, seperti Sungai Kuning di Cina dan Sungai Yamuna di India, setiap tahunnya semakin parah, sehingga menyulitkan pemenuhan kebutuhan pengairan sawah dan ladang. Sebaliknya saat musim penghujan, sungai-sungai besar itu meluap luar biasa, menimbulkan banjir, merusak persawahan, ladang, pemukiman dan menimbulkan kerugian yang juga luar biasa besar. Hal itu terjadi akibat rusaknya hutan, hilangnya daerah resapan dan minimnya keberhasilan melakukan penghutanan kembali daerah-daerah yang terlanjur menjadi gundul dan gersang. Kekurangan air bagi irigasi pertanian tersebut, katanya, telah menyebabkan kesulitan pangan yang terus meluas di berbagai negara, sementara produksi pangan semakin langka dan harganya terus melonjak. Menurut Herbert Oberhaensli, kelangkaan dan mahalnya pangan telah menyengsarakan banyak warga di berbagai negara, yang secara otomatis mendongkrak jumlah penduduk miskin di Asia. Berdasarkan penelitian, katanya, kesulitan dan kekurangan ir yang berdampak luas pada kehidupan tersebut ternyata juga disebabkan penggunaan air secara tidak terukur dan tidak efisien untuk keperluan industri. Oleh karena itu perlu dirancang manajemen pemanfaatan dan pengelolaan air antarnegara di Asia, dengan mewajibkan kalangan industri membeli air dengan harga yang tinggi. Dengan dikenakan tarif, diharapkan akan membuat industri efisien dalam penggunaan air. Dana penjualan air untuk industri tersebut, kemudian dikembalikan untuk memperbaiki lingkungan secara berkelanjutan yang bertujuan mengembalikan daerah resapan, menghijaukan kawasan gundul dan tandus, guna memperbaiki sumber-sumber air dan mencegah banjir. Sementara Dr Julie Kim dari organisasi non-provit (NGO) Global Water, menyoroti pentingnya menciptakan dan mengelola sumber-sumber air bersih di dunia. Organisasi yang didirikan John Mcdonald, mantan duta besar Amerika Serikat untuk PBB dan Dr Peter Bourne, mantan asisten sekjen PBB itu, juga telah merintis pelatihan, bantuan teknologi hingga pembangunan sejumlah sumber air bersih. Selain itu juga membangun percontohan pemanfaatan air melalui penampungan untuk cuci tangan di sekolah dan desa-desa, hingga membantu kebutuhan air bersih bagi korban tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam yang terjadi akhir tahun 2004. "Melalui berbagai upaya itu, kami berharap kepedulian dalam pemanfaatan dan menjaga kebersihan air akan bisa terus meluas ke berbagai lapisan masyarakat di dunia," ucap Julie Kim dalam seminar yang dipandu Werner vom Busch, direktur program media KAS-Asia.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008