Jakarta, (ANTARA News) - Pemerintah diminta menyediakan sarana pelayanan aborsi yang aman untuk menekan tingkat kematian ibu akibat praktik aborsi tidak aman yang hingga kini masih tinggi, demikian pernyataan aktivis perempuan. "Meskipun aborsi dianggap sebagai tindakan kriminal namun kenyataannya sekitar dua juta perempuan Indonesia melakukan aborsi setiap tahunnya dan kebanyakan dilakukan secara tidak aman atau tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan terampil di fasilitas pelayanan yang memadai," kata Direktur Kalyanamitra, Rena Herdiyani di sela acara seminar tentang aborsi di Jakarta, Kamis. Aborsi tidak aman yang sebagian besar diantaranya (87 persen) dilakukan oleh perempuan sudah menikah, menurut dia, berkontribusi besar terhadap tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Ia menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan bahwa 11 persen hingga 17 persen angka kematian ibu yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 sebanyak 262 per 100 ribu kelahiran hidup disebabkan oleh aborsi tidak aman. Sementara menurut prediksi Departemen Kesehatan, Rena melanjutkan, kontribusi aborsi tidak aman terhadap kematian ibu di Indonesia sebesar 30 persen hingga 50 persen. Hal itu terjadi karena selama ini peraturan perundangan seperti Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang tidak mengatur secara jelas mengenai aborsi. "Misalnya saja, dalam pasal 15 ayat 1 undang-undang kesehatan disebutkan bahwa `dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu`. Dan apa yang dimaksud dengan `tindakan medis tertentu` ini tidak dijelaskan," kata Debra H Yatim, salah satu pendiri Kalyanamitra. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), katanya, bahkan mengkriminalkan tindakan aborsi tanpa pengecualian sehingga perempuan yang ingin melakukan aborsi melakukannya secara diam-diam serta memilih menggunakan jasa tenaga yang tidak profesional. Kalyanamitra meminta pemerintah memasukkan ketentuan jelas tentang aborsi ke dalam undang-undang tentang kesehatan yang saat ini sedang direvisi. "Aturan yang dimaksudkan di sini tidak menggunakan pendekatan pelarangan tetapi pengaturan dan upaya pencegahan atas praktik aborsi yang tidak aman," kata Rena. Ia juga meminta pemerintah untuk menekan praktik aborsi tidak aman dengan menetapkan standar layanan aborsi yang aman yakni dilakukan oleh tim dokter, perawat, dan konselor terlatih di sarana pelayanan kesehatan yang memadai dan berijin. "Untuk memenuhi hak reproduksi perempuan, negara juga wajib menyediakan fasilitas layanan aborsi aman yang bermutu dan mudah dijangkau oleh perempuan yang membutuhkan," katanya. Berkenaan dengan hal itu Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Direktur Bina Kesehatan Anak Departemen Kesehatan Fatni Sulani, menyatakan bahwa pemerintah memahami besaran masalah aborsi pada perempuan dan kontribusinya terhadap angka kematian ibu di Indonesia. "Ini adalah masalah peka dan masih menjadi kontroversi dalam masyarakat. Belum semua kelompok masyarakat menyetujuinya. Undang-undang juga belum memungkinkan dilakukannya penyediaan layanan aborsi yang aman," jelasnya. Menurut dia, dalam hal ini Departemen Kesehatan hanya bisa melakukan tindakan-tindakan pencegahan untuk menekan jumlah kasus aborsi tidak aman. Tindakan itu antara lain dilakukan dengan mencegah terjadinya kehamilan tidak diinginkan, yang merupakan pemicu dilakukannya aborsi, melalui kegiatan kampanye serta penyediaan layanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.(*)

Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2008