Cilacap (ANTARA News) - Tim Pengacara Muslim (TPM) mengharapkan penerapan eksekusi terhadap tiga terpidana mati kasus Bom Bali I, Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas alias Ali Gufron jangan melalui penyiksaan terlebih dulu. "Kami mengharapkan penerapan hukuman mati yang modern, tidak melalui penyiksaan sebab di Amerika, suntik mati pun dianggap penyiksaan," kata Koordinator TPM, Achmad Michdan di Dermaga Wijayapura, Cilacap, Sabtu. Dalam hal ini, kata dia, TPM keberatan terhadap hukuman mati dengan tembakan atau cara apapun yang dapat memberikan penyiksaan. Menurut dia, hukuman mati yang diharapkan yakni secara Islam seperti yang dilakukan di Arab Saudi, yaitu dipancung. Ia menjelaskan, ada pengetahuan para ahli yang menyebutkan jika hukuman pancung bisa langsung menyebabkan kematian. "Secara modern (eksekusi modern), kita minta pihak-pihak yang kompeten, baik ahli agama, ahli kedokteran, ahli anastesi, dan sebagainya, memberikan sumbangan pemikiran," katanya. Terkait kunjungannya bersama keluarga tiga terpidana mati tersebut, Michdan mengatakan, TPM hendak menyampaikan laporan perkembangan perkara yang dihadapi kliennya. Menurut dia, beberapa yang hendak disampaikan yakni uji materi terhadap UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dan permohonan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang tata cara eksekusi bagi terpidana mati yang mayoritas beragama Islam. Ia mengatakan, UU Nomor 2/PNPS/1964 merupakan peraturan sementara sedangkan dalam KUHP yang masih berlaku hingga sekarang disebutkan hukuman mati dilakukan dengan cara gantung. "Tanggal 11 September mendatang ada sidang pleno `judicial review` (uji materi) dan kami akan ajukan beberapa ahli dalam persidangan," katanya. Ia mengatakan, TPM juga menyampaikan semacam eksaminasi kasus Bom Bali I kepada Komisi III DPR RI yang diharapkan dapat memperoleh bahasan yang lebih terbuka dan transparan karena akan dijadikan "buku putih" tentang Bom Bali I. Menurut dia, kliennya tidak ada kekhawatiran terhadap eksekusi mati karena yang penting bagi mereka, kalau tindakan ibadah atau jihad mereka dipersalahkan secara hukum, harus tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Kalau aturan perundang-undangan tidak memenuhi Hukum Islam, kata dia, harus dilakukan dengan satu tuntunan atau sistem hukum yang benar, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang lain. "Selain itu, kunjungan kita kali ini merupakan kunjungan istimewa yang dilakukan setiap tahun mendekati Ramadhan. Namun kami menyayangkan, kunjungan ini seakan dipersulit karena surat izin sudah diajukan awal Agustus tetapi baru keluar sekarang," katanya. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2008