Bogor (ANTARA News) - Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS mengemukakan keprihatinannya atas kian tingginya biaya pendidikan di Indonesia, baik mulai tingkat awal di sekolah dasar maupun di perguruan tinggi. "Kalau biaya pendidikan semakin tinggi, maka akses pendidikan hanya akan dimiliki oleh mereka yang mampu saja. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius seluruh komponen bangsa ini, karena esensi kesempatan mendapatkan pendidikan adalah untuk seluruh anak bangsa," katanya dalam perbincangan dengan ANTARA di Bogor, Minggu. Ia mengemukakan hal itu sebagai elaborasi dari pandangannya yang prihatin atas kondisi tersebut, yang dikemukakannya pada saat pertemuan Kelompok Profesional Muda Nahdlatul Ulama (NU) bersama Akademisi NU IPB, yang berlangsung di Ruang Executive Pascasarjana, Kampus IPB Branangsiang, dengan pembicara kunci Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Pada kegiatan yang digagas oleh Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Pascasarjana IPB itu, Cecep Kusmana menyatakan bahwa sebagai akademisi, saat ini dirinya merasa biaya pendidikan begitu melangit. Kian lama biaya pendidikan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat bawah, yang umumnya adalah warga "nahdliyin", sebutan populer warga NU. "Saya prihatin dengan semakin mahalnya biaya pendidikan. NU seharusnya dapat memikirkan masalah ini dengan baik, karena yang akan banyak terimbas oleh mahalnya biaya pendidikan adalah warga NU. Saya kira NU perlu membuat semacam `blue print` pendidikan nasional," kata mantan Dekan Fakultas Kehutanan (Fahutan) IPB itu. Menurut dia, fenomena protes orang tua peserta didik pada setiap tahun ajaran baru --khususnya peserta didik baru, dan itu justru terjadi pada sekolah negeri yang dikelola pemerintah-- umumnya terkait dengan sumbangan biaya pendidikan, selalu berkisar pada keberatan soal besaran nilai sumbangan. Kondisi itu, kata dia, menunjukkan bahwa di dunia pendidikan masih terjadi problem yang kemudian dimaknai sebagian besar masyarakat bahwa sekolah atau lembaga pendidikan lebih cenderung bersifat komersial. Ia kemudian mengajak seluruh masyarakat melihat apakah anggaran pendidikan yang dianggarkan pada RAPBN tahun 2009 akan mencapai 20 persen, seperti diamanatkan UUD 1945, yang telah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan pidato kenegaraan tentang RUU RAPBN Tahun Anggaran 2009 yang disertai Nota Keuangan dalam Sidang Paripurna Terbuka DPR pada 15 Agustus lalu, bisa mengatasi persoalan klasik mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Pada kesempatan itu, Presiden Yudhoyono menyebutkan jika pada tahun 2005 anggaran pendidikan baru mencapai Rp78,5 triliun, maka angka itu naik hampir dua kali lipat menjadi Rp154,2 triliun pada tahun 2008. Anggaran pendidikan antara lain akan dimanfaatkan untuk merehabilitasi gedung-gedung sekolah dan membangun puluhan ribu kelas serta ribuan sekolah baru. Sedangkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu menyebutkan bahwa pemerintah mengalokasikan Rp224 triliun dalam RAPBN 2009 sebagai anggaran pendidikan untuk memenuhi kewajiban 20 persen alokasi dari APBN. "Anggaran pendidikan itu sebesar Rp224 triliun dan itu secara komprehensif dari APBN dan APBD," kata Anggito Abimanyu dalam sebuah wawancara di jaringan televisi nasional sebelum pembacaan pidato Presiden. Sumbangsih swasta Menurut Cecep Kusmana, masalah penting lainnya dalam dunia pendidikan di Tanah Air, adalah masih dirasakannya perhatian yang timpang antara pendidikan negeri dan swasta. "Padahal sumbangsing pendidikan (yang dikelola) swasta, sangat besar bagi bangsa ini, karena tanpa peran mereka, kesempatan pendidikan tidak mungkin diperoleh anak-anak di Indonesia, karena sekolah pemerintah tidak mungkin bisa menampung dalam jumlah besar," katanya. Untuk itulah, kata dia, dengan komitmen baru pemerintah yang untuk pertama kali memenuhi amanah UUD 1945 mengenai 20 persen biaya pembangunan diperuntukkan bagi pendidikan, alokasi bantuan bagi dunia pendidikan swasta bisa lebih adil lagi, dari kondisi selama ini. Ikhwal kurang diperhatikannya dunia pendidikan swasta itu juga dilontarkan Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila, Dr (HC) Ir Siswono Yudho Husudo meminta kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). "Porsi bantuan untuk swasta seharusnya dinaikkan," kata Siswono dan menambahkan dengan adanya alokasi dana 20 persen dari APBN untuk pendidikan, seharusnya pemerintah juga meningkatkan bantuannya kepada PTS, bukan hanya kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) saja. Menurut dia, PTS juga mempunyai peranan yang nyata dalam membantu pemerintah dalam pendidikan, sehingga perlu mendapat perhatian dari pemerintah. "Jumlah siswa yang menuntut ilmu di perguruan tinggi swasta dua kali lebih banyak yang menuntut di perguruan negeri," katanya. Siswono menyadari anggaran 20 persen pendidikan tersebut sebagian besar atau 60 persen untuk pembayaran gaji guru dan sisanya 40 persen untuk sekolah. Ini memang harus dibagi dengan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. "Perlu penanganan dan pengelolaan yang serius agar alokasi dana bisa tepat sasaran," katanya. Lebih lanjut ia mengatakan untuk menjalankan PTS sangat besar dana yang harus dikeluarkan, seperti di Universitas Pancasila (UP) untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saja mencapai Rp454 juta, belum lagi PPh para karyawannya yaitu sebesar Rp800 juta. "Ini belum termasuk pembayaran lainnya seperti telepon, listrik dan lainnya," katanya. Untuk itu, kata dia, pemerintah perlu memberikan insentif kepada perguruan tinggi swasta berupa keringanan pajak, agar PTS bisa berjalan dengan baik. Untuk menjadikan PTS yang handal memang diperlukan dana yang besar demi kelengkapan sarana dan prasarana yang ada, katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2008