Sama-sama berasal dari Brasil, baik Robinho yang berprofesi sebagai pemain maupun Dunga yang berprofesi sebagai pelatih, kedua duet Brasil itu sama-sama mengantongi petuah klasik bahwa raja (kerapkali) tertawa, sementara rakyat menangis (Dum delirant reges populus in dolore). Keduanya kini berhadapan dengan pertanyaan mendasar sejarah setiap manusia, bahwa "di sini saya berdiri, bagi saya tidak ada jalan lain." Duet Brasil itu paham betul nukilan Kisah Penciptaan bahwa Ibu Hawa tertawa, sementara Bapak Adam menangis ketika makan buah terlarang. Keduanya terusir dari Taman Eden karena "mbalelo". Meski Hawa dan Adam tidak sampai memrotes penguasa dengan menjalankan aksi berjemur (mepe). Mereka punya intuisi bahwa kelak anak cucunya selalu menengadahkan tangan seraya berucap, "Terangilah, Oh Tuhan, akal budi dari sang raja". Robinho mengambil peran sebagai raja. Betapa tidak? Hatinya bagaikan digelontor bunga. Kamus hatinya diisi kata-kata gembira. Dia tidak ingin berdiam diri, karena diam tidak berarti apa-apa, di tengah serbuan dunia gemerlap pundi-pundi uang. Sementara Dunga justru mengambil peran sebagai rakyat. Dia tersandung dan tersepak oleh bola-bola nasib. Robinho tertawa, Dunga menangis. Robinho dan Dunga menganut teori kepemimpinan yakni "follow the leader". Mereka tidak perlu membaca halaman demi halaman buku manajemen berkelas kontemporer mengenai kiat menyusun peta strategi perusahaan. Jualan mereka sederhana, yang menjadi pemimpin ialah orang yang bisa memenuhi kebutuhan, dan mewakili semua golongan. Omongan ini bisa ditambah dengan karisma, tradisi dan keahlian. Meski formula jempolannya yakni intuisi. Raja bisa tertawa, karena intuisi. Rakyat menangis, karena intuisi juga. Dalam intuisi, manusia merespons dan memahami segala kenyataan tertentu. Intuisi bukan seperti melahap permen karet, kunyah dan kunyah lalu buang. Menurut filsuf Edmund Husserl, setiap orang memiliki intuisi dan keterarahan yang sama terhadap makna. Ada pengalaman, maka ada makna. Yang utama dan yang terpenting, yakni memperhatikan dunia sebagaimana dunia itu sendiri, lepas bebas dari segala konsep, asumsi, apalagi kalkulasi. Di laga bola. Publik pecinta Liga Utama Inggris (Premier League) sejagat menunggu kebenaran dari rumus bahwa Shaun Wright-Philipis yang membela panji Manchester City bisa menghukum pasukan Chelsea. Kedua tim akan saling beradu di City of Manchester pada Sabtu (13/9). Berangkat dari kalkulasi rekor pertemuan kedua tim, Citizen meraup 39 kali kemenangan, imbang 36 kali. Sementara Chelsea memetik 51 kemenangan. Menurut Manajer City, Mark Hughes laga melawan Chelsea jadi ajang pembuktian bagi Robinho. Pemain Brasil itu diboyong dari Real Madrid dengan bayaran 32,5 juta poundsterling pada akhir Agustus. Sebelumnya pemain Brasil itu menelan pil pahit pengalaman saat melawan Bolivia yang berakhir imbang tanpa gol. Adakah memang Robinho sedang mengalami paceklik intuisi? "Tujuannya bahwa ia akan turun dalam laga pada Sabtu nanti," katanya Hughes kepada para wartawan. "Setiap orang berharap Robinho dapat turun pada pekan ini". Robinho sempat membuat penasaran Chelsea lewat gunjang-ganjing bursa transfer pemain. Meski akhirnya Chelsea bertekuk lutut. Ternyata City lebih digdaya dalam besarnya bayaran karena klub itu disiram dana dari sebuah perusahaan yang berbasis di Abu Dhabi. "Suatu ketika, saya bertemu dia di London. Ia mengatakan dirinya sudah tidak sabar lagi turun bertanding melawan Chelsea. Ini pertanda baik," kata Hughes. Ini bukan omongan tanpa pengalaman. Sebagai pemain, Mark Hughes pernah memperkuat banyak klub terkemuka Eropa, di antaranya Manchester United, Barcelona dan Chelsea. Di atas lapangan, ia tampil mentereng sebagai centre forward yang memiliki keberanian dan kejelian menyerbu ke kotak penalti lawan. Apakah Robinho di bawah Hughes akan menjelaskan bahwa horison pengalaman lebih memiliki "greget" ketimbang gemerlap asumsi? Baik Robinho maupun Hughes tertantang untuk memaknai pengalaman hakiki dalam laga bola. Keduanya telah memamerkan kepada publik bahwa laga bola bukan laga yang serba tertutup atau serba eksklusif. "Kami sangat berharap bahwa ia dapat cepat betah. Kenyataannya, ia punya rekan sesama pemain asal Brasil (Jo dan Elano)," katanya. Harapan begitu membumbung tinggi setelah City diambil alih Abu Dhabi United Group pekan silam. City langsung membetot perhatian publik. Kedatangan pemilik anyar itu membawa angin segar. Laga keduanya berjuluk "clash of the cash". Ini lantaran situasinya sama ketika Abramovich kali pertama masuk ke Chelsea. Waktu itu milyuner Rusia itu menyuntikkan dana cukup ke kubu Chelsea. Kalau Robinho berkutat dengan pemenuhan harapan publik, maka Dunga bernasib sebaliknya. Pelatih timnas Brasil itu sedang menerima pencobaan karena pasukannya terlanjur dicap sebaik skuad miskin kreativitas. Ketika melawan 10 pemain Bolivia, tim Samba bermain imbang 0-0 dalam babak penyisihan Piala Dunia. Sekitar 20.000 penonton yang memadati stadion Joao Havelange pulang ke rumah dengan kecut hati. Bukan lantaran mereka telah membayar harga tiket seharga 100 reais (atau 55 dolar AS), tetapi mereka menjuluki timnas kesayangannya itu sebagai tim ayam sayur. Timnas Brasil di bawah Dunga tak ubahnya sedang memerankan drama opera sabun. "Saya akan terus bekerja sesuai amanat dari presiden CBF (Konfederasi Sepakbola Brasil)," katanya menjawab pertanyaan soal kekalahan Brasil atas Argentina 0-3 dalam laga semi-final Olimpiade di Beijing bulan lalu. "Kami memang menghadapi sejumlah kesulitan. Ini normal. Situasi sulit kerap dihadapi Brasil saat menapak kualifikasi Piala Dunia." "Pada 2001, kami lolos di pertandingan akhir. Pada 1993, kami juga lolos dalam pertanding akhir. Perjalanan tidak seindah yang kerap kita dambakan. Perjalanan tidak selalu mulus." Harian berpengaruh Brasil O Globo menurunkan judul "No Footbal, no public, and no goals." Kata-kata itu jelas terarah kepada Dunga. Bukan sekedar ancaman, tetapi menyimpan kedalaman makna universal dari bola. Meski Robinho dan Dunga berasal dari Brasil, keduanya menganut kesatuan antara fakta dan nilai. Baik fakta mauoun nilai pada dasarnya memiliki relasi saling mempengaruhi. Semuan pengalaman yang dilalui keduanya memuat unsur pertimbangan baik atau buruk, tidak ada pengalaman atau fakta yang sama sekali netral. Kalau ada ungkapan bahwa raja tertawa dan rakyat menangis, maka pengalaman duet Brasil itu "mengukuhkan" pencarian jati diri manusia, Karl Marx dengan kepentingan kelasnya, Sigmund Freud dengan dorongan bawah sadar, dan Nietzsche dengan kehendak untuk berkuasa. Jika saja City beroleh kemenangan, maka kemenangan itu lebih merupakan pemerdekaan atas semua kejayaan psikologis bahwa Chelsea tampil sebagai tim digdaya. Jika Chelsea menang, maka itu hanyalah perulangan atas garis sejarah bahwa raja(kerapkali) tertawa, sementara rakyat (kerapkali) menangis. Bukankah ziarah para positivis adalah sejarah sukses, sejarah yang selalu menuju kemajuan atau kemenangan. Yang menang kerapkali berhak mendefinsikan sejarah.(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2008