Oleh M. Irfan Ilmie Surabaya (ANTARA News) - Tak pernah terbayangkan di benak Muqsim, jika kegemarannya membelah dan melubangi kayu kelak menjadi sebuah pencaharian utama untuk menghidupi anak dan istri serta beberapa saudaranya itu. "Sejak kecil, memang saya suka dengan kayu," kata pria berusia 58 tahun itu mengenang kegemarannya di kampung halamannya di Desa Mondo, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kegemarannya mengolah kayu menjadi benda apa saja yang menarik dipandang mata itu menarik perhatian beberapa orang saudaranya. Hingga pada akhirnya, Muqsim pun hijrah ke Pulau Sumatra pada 1974. Tepatnya di Way Jepara, Lampung, Muqsim mengawali profesinya sebagai tukang tatah perahu. "Awalnya saya hanya bantu-bantu menatah kayu saja," katanya menuturkan. Lambut-laun dia pun memahami seluk-beluk beragam jenis kayu sebelum dibentuk menjadi sebuah perahu yang digunakan para nelayan untuk menyambung hidup di tengah lautan. Pria yang tidak mahir berlayar itu, perlahan-lahan mencoba membuat sampan untuk mencari ikan di kali dan sekitar pantai. Namun karena dianggap hasil garapannya bagus, para nelayan di Lampung akhirnya meminta Muqsim membuatkan beberapa jenis perahu yang lebih besar lagi. Muqsim pun membuat beberapa jenis perahu mulai dari perahu bercadik dengan penyangga di kanan-kirinya untuk keseimbangan hingga perahu pemayang yang biasa di gunakan para nelayan untuk menangkap ikan di tengah lautan dengan jaring besar. "Sembilan tahun lamanya saya membuat perahu untuk memenuhi pesanan para nelayan di Lampung itu," kata pria yang lahir di Desa Mondo, sebuah desa yang jauh dari laut itu. Setelah sembilan tahun mengadu nasib di provinsi paling selatan di Pulau Sumatra itu, pada taun 1983 Muqsim akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Kediri. "Sempat nganggur selama beberapa bulan, karena memang di kampung halaman saya ini tidak ada nelayan. Jadi tidak ada orang yang memesan perahu," katanya. Namun demikian, Muqsim tak bisa tinggal diam hanya dengan bertopang dagu di bilik rumahnya yang berada di sebelah barat Sungai Brantas itu. Ia keluar masuk hutan tak jauh dari rumahnya di kawasan Gunung Wilis untuk mencari kayu yang bisa dimanfaatkan untuk apa saja. Saat pulang, dia sudah membawa pulang kayu trembesi (pipturus nicanus). Iseng-iseng kayu dengan garis tengah sekitar 1,5 meter itu dia lubangi. Berhari-hari, dia melubangi kayu itu hingga bentuknya mirip drum yang biasa digunakan untuk menampung minyak tanah dari truk tangki. Setelah bentuknya dianggap pas, lalu dia pasangi kulit sapi pada kedua ujung lubang kayu itu. "Jadilah sebuah beduk," katanya singkat. Ia mencoba menabuhnya bertalu-talu untuk menguji dentuman suara beduk produk perdananya itu. Setelah melengkapinya dengan kentungan, dia membawa hasil karyanya itu ke Kiai Ruhin yang menjadi imam utama di Masjid Baiturrahman, Semampir, Kota Kediri. "Saya tidak menjualnya. Tapi, oleh pengurus masjid, saya diberi uang pengganti kayu dan kulit sapi," kata Muqsim menuturkan. Sampai saat ini, beduk hasil karya Muqsim itu masih tergantung di serambi masjid yang bersebelahan dengan gedung DPRD Kota Kediri itu. Setiap Jumat beduk itu ditabuh untuk memanggil kaum muslimin menunaikan ibadah salat Jumat. Kini Muqsim sudah bisa tumakninah di kampung halamannya sendiri. Rumahnya yang berada di pinggir jalan alternatif Kediri-Tulungagung itu kini disulapnya menjadi bengkel beduk. Beragam jenis dan ukuran beduk dipajang di bengkelnya itu. "Itu pesanan dari Udanawu, Blitar, sedang yang sebelah sana itu pesanan dari Gresik," kata Muqsim menunjuk dua beduk ukuran berbeda itu. Muqsim yang kini dibantu dua orang saudaranya itu tidak hanya melayani permintaan dari dalam negeri saja. Sebelumnya dia sudah pernah membuatkan beduk atas pesanan orang Spanyol, Portugal, dan beberapa negara di kawasan Timur Tengah. Dan belum lama ini, dia baru saja menuntaskan pesanan dari Denpasar, Bali. Dalam perjalanan pulang dari Pulau Dewata itu, dia bertemu seorang eksportir. "Dia meminta kepada saya untuk dibuatkan beduk atas permintaan orang Brasil. Saya sendiri tidak tahu, apakah itu digunakan untuk masjid atau bukan," katanya. Ia menganggap permintaan dari Brasil itu sebagai tantangan baru yang harus dihadapinya. "Bayangkan, dia meminta saya membuatkan beduk dengan garis tengah 1,80 meter dan panjang tiga meter," katanya. Harga yang ditawarkan untuk beduk yang akan dibuat Muqsim dengan ukuran besar itu sungguh fantastis, yakni mencapai Rp100 juta! Namun sudah dua bulan ini, dia kesulitan mendapatkan kayu trembesi utuh dengan garis tengah di atas 1,50 meter. "Saya sudah mencarinya ke sana kemari, tapi belum membawa hasil. Kemarin saya diberi tahu teman, katanya di Jember ada, tapi saya belum memastikannya lagi," katanya. Menurut dia, untuk menghasilkan beduk yang tahan lama dengan kualitas suara yang baik pula, mutlak dibutuhkan kayu trembesi dalam kondisi utuh. Untuk itu dia berani menjamin, beduk bikinannya itu akan mampu bertahan hingga setengah abad. "Jangankan satu setengah meter, untuk mendapatkan kayu trembesi dengan garis tengah 80 sentimeter saja susahnya minta ampun," katanya. Namun demikian, dia tetap akan terus melanjutkan perburuan kayu trembesi raksasa guna menjawab tantangan yang ditawarkan orang Brasil melalui eksportir di Bali itu. Sambil meneruskan perburuannya itu, Muqsim tetap melanjutkan pekerjaan menggarap beberapa pesanan yang telanjur diterimanya sebelum Ramadan lalu. "Masih ada dua lagi pesanan yang harus segera saya rampungkan sebelum Idulfitri nanti," katanya mengungkapkan. Untuk sebuah beduk dengan diameter 50 sentimeter dan panjang satu meter, dia menjualnya dengan harga Rp1,5 juta. Sedang untuk beduk bergaris tengah 70 sentimeter dan panjang 1,20 meter seharga Rp3 juta. "Untuk menyelesaikan beduk berukuran kecil hingga sedang, membutuhkan waktu tiga hari. Tapi kalau yang besar bisa sampai sebulan," kata pria yang kini sedang mempersiapkan putra ketiganya untuk melanjutkan usahanya itu. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2008