Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia sedang mengkaji alternatif kebijakan untuk mengatasi ketatnya likuditas yang terjadi saat ini agar tidak mempengaruhi perkembangan bank syariah. "Sedang kita kaji, kita siapkan, tapi kita belum tahu instrumen apa yang akan dilakukan untuk mengatasi ketatnya likuiditas saat ini, " kata Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia Ramzi A Zuhdi. Menurut Ramzi, salah satu alternatif yang bisa dilaksanakan adalah mengafektifkan rahn (gadai) surat-surat berharga. Dengan prinsip rahn (gadai), jelasnya, perbankan syariah bisa menggadaikan surat-surat berharga yang dimiliki untuk memperoleh likuditas. Ramzi menilai kenaikan imbal hasil usaha perbankan syariah akibat ketatnya likuiditas saat ini merupakan salah satu jalan yang dilakukan bank syariah agar tetap kompetitif. "Karena kondisi pasarnya begitu, apa boleh buat, kalau tidak mereka lari ke konvensional," katanya. Sementara itu, pengamat ekonomi Syariah Adiwarma Karim mengatakan tekanan likuditas saat ini memang harus disikapi lebih baik agar imbasnya tidak mempengaruhi perkembangan perbankan syariah. Adiwarma Karim menambahkan, saat ini bagi hasil perbankan syariah berada di sekitar 10,5 persen. Untuk itu, menurut dia, perbankan syariah kurang kompetitif dibandingkan bank konvensional sebab mereka berani menawarkan hingga 12 persen. "Hal ini perlu segera diselesaikan, dengan membuat likuiditas di pasar lebih longgar. Ini penting," katanya. Prinsip rahn (gadai) telah memiliki fatwa dari Dewan Syari`ah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu fatwa DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002. Fatwa tersebut menyatakan, salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang. Dalam fatwa tersebut diterangkan, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Barang dan manfaatnya tetap menjadi milik pemilik barang. Pada prinsipnya, barang tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima gadai kecuali seizin yang menggadaikan, dengan tidak mengurangi nilai barang dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Pemeliharaan dan penyimpanan barang pada dasarnya menjadi kewajiban pemilik barang, namun dapat dilakukan juga oleh penerima gadai, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban pemilik barang, Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Penjualan barang gadai terjadi bila telah jatuh tempo pemilik barang tak bisa melunasi barang gadainya setelah penerima gadai memperingatkan pemilik barang untuk segera melunasi utangnya. Hasil penjualan barang tersebut nantinya digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penujualan. Kelebihan penjualan menjadi milik pemilik barang, sedangkan kekurangannya menjadi kewajibannya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2008