Jakarta (ANTARA News) - Dini Ardiyanti (35) tertegun di ruang kerjanya setelah membaca selembar surat keputusan atasannya yang baru. Karyawati perusahaan swasta nasional itu dimutasikan dari jabatannya sebagai "corporate secretary" menjadi staf divisi litbang perusahaan. "Karierku selesai. Ini pembuangan," kata Dini sesampai di rumah, saat menumpahkan uneg-unegnya pada sang suami. Dini merasa didepak karena bos barunya membawa orang luar untuk menggantikan kedudukannya. "Orang bilang, inilah divisi sulit berkembang. Jelas, aku tak perlu mimpi meraih sukses meniti karier di perusahaan ini," tambahnya. Ada pesimisme dalam kata-kata wanita karier alumni Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya itu. Seperti pemahaman banyak orang lainnya, sukses menurut Dini mestilah diperlihatkan oleh mulusnya peningkatan jenjang karier seseorang. Begitu seorang karyawan digeser ke posisi yang dianaktirikan manajemen, serta-merta dia merasa gagal meniti karier. Begitukah makna sukses dalam perjalanan karier hidup manusia? Di mata motivator Mario Teguh, bukan begitu arti sukses yang sejati. "Kalau anda bisa menjadi manusia yang baik, sukses lah anda. Jadi orang yang sukses adalah menjadi pribadi yang baik," katanya. Mario tak mengikuti pendapat yang jadi arus utama (mainsteram)), yang mengatakan sukses itu ditentukan atau diukur oleh prestasi material atau status sosial. Dengan alur pikiran demikian, Mario menyusun silogisme: orang kaya yang korup adalah orang gagal yang berkantong tebal, sementara orang miskin yang baik adalah orang sukses yang duitnya pas-pasan. Tentu saja, ada orang sukses yang duitnya banyak dan ada orang gagal yang miskin. Konteks dan relativitas kultur Baik, itulah kata kunci Mario dalam menakar sukses seseorang. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan baik? Willian Shakespeare, pujangga Inggris, pernah menulis untaian kata-kata yang sering dikutip pengagumnya, "Good or bad is nothing. Our thinking makes it so." Baik atau buruk itu tidak ada, pikiran manusia lah yang menciptakan demikian. Tafsir atas kata-kata Shakespeare itu bisa beragam. Misalnya, orang yang baik sebagai suami belum tentu baik bagi publik. Atau tokoh publik yang berjasa belum tentu baik bagi anaknya. Ingat tentang anak Mahatma Gandhi yang jadi pemabok? Dalam konteks historis, orang masih terus berdebat apakah Ali Jinnah, pendiri Pakistan, itu tokoh yang baik atau buruk. Di mata pengikutnya, dia baik karena memberikan ruang bagi kaum Muslim. Di mata penentangnya, dia lah yang harus bertanggung jawab atas pertumpahan darah dalam sejarah pemisahan negeri di anak benua Asia itu. Shakespeare tampaknya ingin agar kata "baik" atau "buruk" itu sebaiknya tak dipakai jika seseorang ingin menghindari penghakiman yang subyektif. Orang tak bisa mengatakan sikap lemah lembut atau keras tegas itu baik atau buruk. Tak ada absolutisme. Baik atau buruk hanya bisa digunakan dalam konteks, atau kultur tertentu. Ada cerita yang sepintas seperti anekdot, tetapi dimungkinkan lahir dari kejadian sehari-hari. Suatu ketika seorang dosen tua dari Tanah Batak memanggil mahasiswa yang bersuku Jawa, tepatnya dari Solo. Ketika percakapan dimulai, dosen yang pendengarannya mulai menurun itu menghardik sang mahasiswa: "Kenapa kau bicara lirih sehingga aku tak bisa dengar?!" "Supaya kelihatan sopan, pak," "Kalau sama aku, bicaralah yang keras. Itu baru sopan!" Relativitas kultur juga mencairkan kategori baik-buruk, sopan tidak sopan. Kembali ke soal sukses, ada persamaan pandangan antara Mario dan Emha Ainun Nadjib. Menurut Cak Nun, yang eksistensial bagi manusia adalah berjuang agar lulus sebagai manusia. Lulus sebagai penyair, lulus sebagai dai, lulus sebagai presiden belum menukik ke jatidiri manusia. Apa yang dikemukakan Mario dan Cak Nun mungkin sebatas wacana mengenai konsep sukses. Soal apakah pandangan yang esensial itu dihayati banyak orang masih harus diuji di tataran kehidupan sehari-hari. Yang jelas, Dini Ardiyanti merasa gagal sejak dia dimutasikan di jabatannya yang baru, staf divisi yang sering diplesetkan sebagai "sulit berkembang". (*)

Oleh Oleh Mulyo Sunyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2008