Jakarta, (ANTARA News) - Pemerintah diminta tidak hanya memompa sikap optimistis menghadapi krisis keuangan di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi harus mampu mengamankan sistem ekonomi secara menyeluruh, karena ekonomi dalam negeri saat ini lebih rapuh dibanding krisis 1998. "Terlalu menghembuskan sikap optimistis bahwa kondisi ekonomi cukup kuat menghadapi krisis, justru bisa berakibat buruk karena secara riil ekonomi nasional sangat tidak kondusif," kata Managing Director Advisory Group in Economics, Industry and Trade (Econit) Henri Saparini, kepada ANTARA, di Jakarta, Selasa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Senin, (6/10) menegaskan krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia pada tahun 1998 tidak akan terulang, akibat krisis perekonomian global yang dipicu masalah perkreditan di AS. Dengan mengeluarkan 10 arahan mengatasi dampak krisis, Presiden juga berpatokan bahwa kondisi fundamantal ekonomi nasional pada tahun 2008 sudah berbeda, dan lebih baik dibanding tahun 1998. Untuk menghadapi dampak krisis AS ke ekonomi global, pemerintah AS mengeluarkan dana talangan (bailout) sekitar 700 miliar dolar AS atau sekitar Rp6.500 triliun. Menurut Henri, suntikan optimisme dengan 10 arahan tidak ada yang implementatif, karena sejak krisis tahun 1998 hal itu sudah dijalankan tanpa hasil yang memadai. Komentar Presiden bahwa kondisi ekonomi saat ini sudah lebih baik atau berbeda dengan tahun 1998 sangat bertolak belakang dengan kenyataan. Anggapan pemerintah bahwa krisis di AS dan Eropa saat ini hanya dimulai dari luar saja, atau dimulai dari terdepresiasinya rupiah terhadap mata uang asing sangat salah. "Ini diagnosa yang salah yang dampaknya bisa lebih buruk dari tahun 1998. Pasar (ekonomi) saat ini justru pesimistis tercermin dari suku bunga yang terus melambung, sektor riil tidak bisa ekspansi," tegas Henri yang juga tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit. Lebih lanjut dijelaskan, fundamental ekonomi yang rapuh juga terlihat dari ketidakmampuan pemerintah mengelola cadangan devisa, karena hanya ditopang kenaikan harga komoditas di pasar internasional dan ekspor produk yang berbasis bahan baku bukan barang jadi. Ia memaparkan, tingkat utilitasi sektor industri tahun 1998 mencapai 80 persen, saat ini terjadi deindustrialisasi yang mengakibatkan tingkat utilitas hanya sekitar 60 persen. Tingkat kemiskinan dan pengangguran saat ini justru lebih tinggi dibanding tahun 1998, belum lagi krisis pangan dan energi yang masih belum dapat dicarikan solusi yang tepat. "Yang penting dari semua itu adalah perlunya optimalisasi dan percepatan pencapaian target dari berbagai program yagn telah dijalankan, termasuk mempercepat reformasi birokrasi," katanya. Ia juga menyoroti, sistem birokrasi yang masih belum dapat dikendalikan dengan baik mengakibatkan daya saing produk dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri sulit untuk bersaing baik di pasar internasional maupun di dalam negeri. "Tidak mudah kembali ke produk dalam negeri, karena produk impor murah dan berkualitas sudah merajai pasar dalam negeri. Ini artinya pemerintah harus lebih serius dalam mengatasi masalah-masalah ekonomi domestik, dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas lagi," katanya.(*)

Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2008