Kediri (ANTARA News) - Wasiah (63), ibu dari salah seorang korban bom Bali I, sekarang sakit-sakitan setelah ditinggal anaknya Widayati yang tewas dalam tragedi berdarah di Legian, Kuta, Bali 12 Oktober 2002 lalu. Saat dikunjungi di rumahnya yang sangat sederhana di Jalan Duorowati nomor 7 Kediri, Jatim, Minggu sore, Wasiah (63) yang dulunya menggantungkan hidupnya dari penghasilan Widayati, kini kondisinya sangat memprihatinkan. Bahkan untuk berjalan saja, wanita yang sehari-hari berjualan es batu itu sudah susah. "Sejak peristiwa yang merenggut nyawa anak saya itu terjadi sampai sekarang, saya sakit-sakitan," katanya. Sementara itu Suradi (70), ayah Widayati, bekerja mengayuh becak untuk menopang hidup mereka. "Dulu saya masih kerja di PG (Pabrik Gula) Mrican, tapi karena sudah sering sakit-sakitan, saya keluar," katanya lirih. Kendati demikian, pasangan suami-istri itu masih mendambakan bisa mengunjungi Monumen Tragedi Kemanusiaan Bom Bali (Zero Ground) di Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali. "Kami ingin sekali melihat monumen itu. Tapi terus terang, kami tidak punya uang untuk pergi ke sana. Kami ini orang susah," kata suradi. Ia mengungkapkan, semasa Widayati masih hidup, kebutuhan hidup keluarganya lebih baik dibandingkan kondisi saat ini. "Hampir setiap bulan, Widayati mengirimkan uang untuk saya dan kakak-kakaknya yang tinggal di sini," katanya mengungkapkan. Oleh sebab itu, dia sangat terpukul dengan peristiwa yang menewaskan putri kelimanya itu dalam tragedi berdarah enam tahun silam. Yang lebih menyedihkan hati Suradi dan Wasiah, adalah aparat penegak hukum sampai sekarang tidak mengeksekusi tiga pelaku Bom Bali I, Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Ghufron, meski sudah ada keputusan hukum tetap. "Peristiwa itu tidak bisa kami lupakan seumur hidup. Kami ini orang kecil, hanya bisa berharap kepada pemerintah untuk secepatnya mengeksekusi pelakunya," kata Suradi yang sempat bertemu mantan Presiden Megawati saat mencari jenazah anaknya di RSUP Sanglah, Denpasar, sehari setelah kejadian itu. Ia menceritakan, pada tanggal 12 Oktober 2002 malam, Widodo, kakak Widayati, dari Denpasar menghubungi Suradi melalui telepon milik tetangganya. "Saat itu saya hanya dibilangi, Widayati sakit keras. Esok harinya saya langsung berangkat ke Denpasar dengan istri saya. Sampai di Denpasar saya langsung dibawa menuju Rumah Sakit Sanglah," katanya. Betapa terkejutnya Suradi dan Wasiah setelah mendapati anaknya itu sudah tidak bernyawa. Meski kondisinya tidak utuh lagi, Suradi masih bisa mengenali Widayati dari giginya yang tidak teratur. "Sedang saya bisa mengenali Widayati dari dahinya. Wajahnya sudah tidak bisa dikenali lagi. Kedua tangan dan kakinya sudah tidak ada," kata Wasiah seraya menambahkan masih terus teringat kondisi jasad Widayati itu. Saat peristiwa itu terjadi, Widayati yang berusia 37 tahun sedang bertugas sebagai kasir di Kafe Sari Club, Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali. "Sudah lama dia bekerja di Sari Club, tapi baru satu tahun dia memegang kasir sampai dia akhirnya meninggal dunia kena bom," katanya. Kini Widayati meninggalkan seorang suami, Wayan Harianto dan dua orang anak, Eka (SMA) dan Kadek (SMP). "Sampai sekarang, suami Widayati masih belum mau menikah lagi, karena berkonsentrasi membiayai sekolah dua anaknya itu," kata Wasiah. Tujuh hari setelah peristiwa berdarah itu, jasad Widayati dibakar sesuai adat Bali di Denpasar. "Jenazah sesuai adat Bali, tapi keluarga di Kediri menggelar tahlilan mulai hari kematiannya sampai tujuh hari," katanya mengungkapkan.(*)

Pewarta: surya
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2008