Jakarta (ANTARA News) - Ketika krisis keuangan global menciptakan ketakutan di bursa saham Asia, pembantu rumah tangga (PRT) asal Filipina bernama Christy Arciaga ikut gelisah meski tak selembar pun ia memiliki saham. Majikannya yang pengusaha akhir-akhir ini berubah gampang marah karena aset bisnisnya tiba-tiba menguap sia-sia dan PRT berumur 46 tahun ini harus sering menghadapi sikap uring-uringan majikannya. "Majikanku menyalakan televisi tiap hari sekedar ingin mengetahui laporan terakhir di pasar modal, bahkan jauh sebelum dia sarapan. Dia acap marah dan membentak sambil mengancam memulangkan saya padahal kontrak kerja masih panjang," kata Arciaga. "Ancaman dipulangkan itu membuatku sulit tidur. Apa jadinya keluargaku nanti? Dua anakku sedang menempuh kuliah." Ribuan pekerja asing, diantaranya PRT, pelayan restoran dan buruh pabrik yang bekerja di kota-kota superkaya seperti Singapura dan Hongkong khawatir melesunya perekonomian dan rangkaian penghematan yang timbul karena krisis akan menguras upah mereka dan akhirnya mengubahnya menjadi pengangguran. Ini juga berarti kiriman uang ke kampung halaman untuk keluarga-keluarga mereka yang miskin itu mengering, padahal uang mereka sangat diperlukan untuk membeli makanan, pakaian dan bayaran sekolah keluarganya di kampung. Seorang PRT bernama Myra Catacutan (34) mengaku akhir-akhir ini dia selalu mendengar majikannya hobi membentak seseorang di telepon, kemungkinan penasihat bisnisnya, agar mengembalikan dana investasinya. "Majikanku menyumpahi seseorang sambil berteriak 'kembalikan uangku.' Saat berbalik menatapku matanya basah dan mengadu padaku dia rugi bandar. Aku takut dia memecatku," kata Myra. William Gois, koordinator LSM Migrant Forum membenarkan, penghematan besar-besaran akan memperparah kemiskinan di negara-negara tempat asal para pekerja asing itu. "Keluarga-keluarga yang tergantung pada kiriman uang saudaranya di luar negeri kini tak lagi mendapat kiriman uang dan itu akan memperparah kemiskinan," kata Gois dalam pembicaraan telepon dari Manila seperti dikutip AFP, Senin. Filipina, Indonesia, Bangladesh dan Srilangka yang adalah eksportir tenaga kerja terbesar akan menjadi negara yang paling terkena dampaknya, tandas Gois. Bank sentral Filipina mengatakan, kiriman uang dari orang-orang Filipina yang bekerja di luar negeri mencapai 9,6 miliar dolar AS hanya dalam tujuh bulan pertama tahun ini dan diperkirakan berlipat menjadi 15,9 miliar dolar AS sampai akhir tahun ini. Masalah bertambah parah karena banyak sekali pekerja asing ini yang bekerja di Hongkong, Jepang, Malaysia, Singapura dan Korea Selatan tanpa dilengkapi dokumen-dokumen yang layak, demikian Gois. "Di masa krisis ekonomi, hal utama yang dilakukan pemerintah (negara penerima pekerja asing) adalah mengejar para pekerja tanpa dokumen karena mereka melihatnya sebagai beban ekonomi sekaligus masalah sosial," ungkapnya. Gois mengutarakan, ada lebih dari 53 juta pekerja Asia di seluruh dunia yang kebanyakan bekerja di Timur Tegah di mana hanya sedikit yang memiliki keahlian dan keterampilan. Kepada AFP, para pekerja asing ini sendiri mengaku takut dipecat oleh majikan mereka kendati sejauh ini tidak ada laporan itu di media-media. "Tentu saja aku takut. Aku tak terlalu mengerti mengapa bisa terjadi krisis, yang aku khawatirkan adalah perusahaan tempatku bekerja akan terkena dampaknya," kata seorang buruh asal Bangladesh. Bagi Singapura, mengirimkan para pekerja asing kembali ke negerinya akan membuat setiap rumahtangga di Singapura berhemat 600 dolar Singapura (407 dolar AS) setiap bulan. Banyak sekali majikan dari para PRT di Singapura yang menanamkan modal di saham atau produk-produk finansial lainnya yang nilainya terus menyusut gara-gara tergerus krisis. Karena kunjungan wisatawan ke Singapura jatuh selama tiga bulan sampai Agustus kemarin, maka restoran-restoran dan toko-toko di negeri itu melakukan penghematam dan ini berarti mengancam nasib banyak orang Filipina dan warga China daratan yang banyak bekerja di sana. Begitu pula dengan mengendurnya sektor konstruksi akan memengaruhi nasib ribuan buruh asing berkebangsaan Bangladesh, India, Myanmar, Thailand dan China. Di Hongkong yang menjadi tempat 150 ribu warga Filipina yang kebanyakan bekerja sebagai PRT dan pelayan bar atau restoran, kekhawatiran pada dampak krisis keuangan global sudah dirasakan riil oleh masyarakat. "Para pekerja asing benar-benar takut," kata Eman Villanueva, Sekretaris Jenderal United Filipinons, Hongkong, sebuah LSM yang memperjuangkan hak-hak pekerja asing. "Mereka semua memprihatinkan pekerjaannya. Kebanyakan orang Hongkong yang mengupah pekerja asing mengalami keadaan di mana investasi dan karir mereka terancam gara-gara krisis keuangan," kata Eman. Ia menambahkan, kebanyakan pekerja asing juga mengkhawatirkan masa depan investasi mereka. "Banyak dari mereka menempatkan sebagian upahnya dalam asuransi pendidikan untuk menjamin anak-anak mereka bisa kuliah di universitas atau untuk masa tuanya. Mereka mengkhawatirkan hal yang bakal menimpa uang mereka," terangnya. (*)

Pewarta: jafar
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2008