Jakarta, (ANTARA News) - Tarung sarat gengsi antara dua raksasa Liga Utama Inggris (Premier League), yakni Liverpool dan Chelsea, bukan sebatas perang urat syaraf atau semerbak rivalitas, tetapi menyeret perhatian publik seantero akan makna kegembiraan hidup (goia di vivere) dalam kompetisi bola. Silakan pecinta bola memungut "fioretti" (kuntum-kuntum kecil) di taman hati di tengah kepengapan krisis global. Kalau Liverpool menorehkan kata-kata menggoda "PS I Love You", maka Chelsea memilih kata-kata sarat mabuk kepayang "Laga Ini Milik Kami". Sah saja, karena pertandingan yang akan digelar di Stamford Bridge pada Minggu waktu setempat itu menghela perhatian orang kepada metafora kerendahan hati. Amalannya relatif sederhana: kerelaan untuk memungut setiap cacing yang dijumpai di jalan dan membawa kemudian menyingkirkan hewan itu agar tidak terinjak orang lewat. Mengapa ada kerendahan hati di tengah pertandingan kedua tim papan atas itu? Bukankah kekalahan sama sebangun dengan perintah untuk tidak menyentuh dan tidak memperlakukan pundi-pundi uang seperti batu kerikil tergeletak di tanah? Jawabannya, mengutip tokoh rohani Fransiskus Assisi, "Jika kita memiliki harta milik, kita memerlukan senjata untuk mempertahankannya." Baik Liverpool maupun Chelsea sama-sama berbagi roti bagi dunia yang kini terguncang krisis keuangan global. Wartanya bernas bahwa kerendahan hati membuahkan pemecahan bagi kekacauan dan keriuhan pertempuran. Kerendahan hati membungkam kesunyian maut. Justru kedua skuad kini sama-sama mendongeng mengenai cinta seperti di buku cerita. Kedua tim seakan meyakini bahwa kemenangan dan kekalahan berlalu satu persatu bagaikan litani kehidupan. Liverpool kini seperti perempuan muda yang menulis buku harian bahwa tidak ada kata tidak mungkin ketika mengekspresikan "PS I Love You" kepada Dewi Fortuna. Berhamburan kata sarat kasmaran, antara lain, "aku kangen, aku tertawa saat berada di sampingmu, perasaanku tetap sama ketika kita kali pertama bersua." Manajer Liverpool Rafael Benitez kini tidak kuasa menutup galau hatinya karena Steven Gerrard, Robbie Keane dan Xavi Alonso tengah dilanda cedera menjelang pertandingan melawan Chelsea. "Gerrard, Xavi dan Robbie sedang cedera. Keane masih menghadapi masalah dengan ototnya meski tidak terlalu serius," katanya. Inikah PS I Love You gaya Benitez? Ia menjawab, "Mereka sedikit kelelahan dan kami berusaha keras mempertahankan kebugaran seratus persen." Hati Rafa gusar karena kehilangan pemain asal Spanyol Fernando Torres yang besar kemungkinan tidak membela panji Liverpool. "Torres pemain istimewa. Kami kehilangan dia," katanya. Pekan lalu Liverpool memetik kemenangan 3-2 atas Wigan Athletic. Publik pecinta The Reds dibuat deg-degan setelah melihat penampilan pasukan Rafa yang dinilai banyak pihak terkesan termehek-mehek. Capaian Liverpol terbilang memilukan di tengah kebesaran tiga besar Liga Primer, yakni Chelsea, Manchester United dan Arsenal. Buntutnya, manajer asal Spanyol itu menuai kritik. Penggila dan pecinta Liverpool seakan mengusung kredo bahwa sejarah berulang, karenanya menang adalah mutlak adanya. Klub yang bermarkas di Anfield ini meraih segepok gelar, yakni 18 kali Liga Premier, 14 kali juara Charity/Community Shield, tujuh kali juara Piala FA, dan tujuh kali juara Piala Liga. Bersama Rafa, Liverpool tampol sebagai juara Liga Champions (2004-2005), Piala Super Eropa (2005-2006). Bagi Liverpool, laga melawan klub sekelas Chelsea memicu adrenalin. Klub asuhan pelatih Luiz Felipe Scolari itu bukan tanpa kelemahan. Paling tidak ada lintas sejarah saat Liverpool mengalahkan Chelsea dalam semi-final Liga Champions pada 2005. Ketika itu pahlawannya Luis Gracia. "Jika saja Liverpool tampil seperti saat itu, mereka patut memperoleh kemenangan," kata Garcia yang kini bermain bersama Atletico," katanya. Sementara itu, Scolari akan menerjunkan pemain-pemain berkelas untuk memberi pelajaran kepada seterunya itu. Pelatih asal Brazil itu kini sarat euphoria. Pasukan asuhannya mampu mengalahkan Roma 1-0 dalam laga Liga Champions pada Rabu lalu. Kemenangan ini memompa semangat The Blues. Di benak Scolari, hanya ada satu rumus, mencetak gol lebih dulu untuk meruntuhkan konsentrasi para pemain Liverpool. Gertak sambal ala Brazil. "Saya ingin memainkan sepakbola indah ketika berhadapan dengan Liverpool karena mereka tampil sebagai tim yang kuat," katanya. "Mereka bertarung bukan untuk 90 menit tetapi untuk 100 menit. Mereka memperoleh kemenangan dalam empat laga sesudah pertandingan berjalan 85 menit." "Kami perlu tampil lebih berkosentrasi sampai wasit meniup peluit tanda pertandingan berakhir. Paling tidak kami perlu mencetak satu atau dua gol," kata Scolari penuh nada optimistis. Besar kemungkinan kemenangan atas Roma membuat hati Scolari berbunga-bunga. "Kami perlu tiga poin saat berlaga di kandang. Ini saya utarakan berulangkali kepada para pemain." "Penting juga bahwa mereka tampil dengan penuh kepercayaan diri. Mereka (Liverpool) amat termotivasi karena taruhannya posisi di klasemen. Mereka berkeinginan memperbaiki posisi. Ini jelas bara semangat yang perlu kami terus waspadai," katanya. "Ketika kami melawan Roma, saya berpikir mereka akan tampil dengan pola permainan berbeda. Kami akan memanfaatkan setiap peluang untuk menyarangkan gol ke gawang lawan, bukan hanya ke gawang Liverpool." Chelsea kini berada di atas angin karena peringkatnya berada dua besar klasemen Liga Primer. "Kami akan rendah hati, karena pertandingan belum berakhir benar." Scolari bakal mengandalkan John Obi Mikel, Frank Lampard. Amunisi Chelsea siap meledak di lini pertahanan Liverpool. Ketika membaca teks laga Chelsea melawan Liverpool, filsuf poststrukturalisme Roland Barthes membuat pembedaan antara pengarang (ecrivains) dengan penulis (ecrivants). Ia menganggap bahwa status penulis lebih rendah dari pengarang karena penulis menggunakan bahasa hanya sebagai medium bagi pencapaian tujuan moral, politis dan praktis. Bagi seorang penulis, bahasa hanya sebatas alat yang bermakna tunggal. Bagi seorang pengarang, bahasa diabdikan kepada kata-kata, bukan kepada benda-benda, karena itu yang dihasilkan bukan sekedar produk, melainkan lebih merupakan teks. Ada buku yang "terbaca" (readerly) dan ada buku yang tertulis (writerly). Buku yang terbaca lebih mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan buku yang tertulis jauh lebih sulit dipahami maknanya. Bagi Barthes, tidak seharusnya teks memiliki satu makna saja. Semakin banyak makna yang dapat diinterpretasikan, semakin baik karya itu. Kaya sastra tidak sebatas membopong atau mengangkut makna, tetapi menyuguhkan kritik. Di sini ia mulai bicara tentang "matinya sang pengarang", dengan konsekuensi, "lahirnya pembaca". Ada siklus hidup dan mati dalam teks. Nah, kalau saja laga bola adalah sebuah teks, maka laga Liverpool melawan Chelsea lebih merupakan buku yang terbaca, karena pengalaman akan lebih banyak berbicara. Apakah Scolari mampu membaca arus permainan pasukan Benitez, atau justru sebaliknya? Kejelian membaca irama permainan lawan jadi salah satu syarat, bukan sebatas rekaman pertemuan kedua tim. Laga bola adalah laga kini dan di sini (hic et nunc). Dan Liverpool menulis dalam buku harian, "Mungkin kami hanya akan terus menjadi teman pena sampai kami tua nanti. Atau mungkin kami tidak akan berhubungan lagi dan hanya tinggal kenangan." Dan Chelsea menorehkan dalam buku harian, "Yang kutahu hanyalah bahwa diriku telah diberi kehormatan untuk merasakan cinta seperti di buku cerita. Dan aku tidak akan pernah berhenti percaya kepada takdir." Liverpool tetap menulis "Post Scriptum, I Love You." (*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2008