Jayapura (ANTARA News) - Penduduk Indonesia yang mendiami kepulauan Nusantara ini memeluk agama yang berbeda-beda satu dengan yang lain dan Negara menjamin kebebasan pemeluk setiap agama beribadah sesuai keyakinannya namun sering kali kebebasan itu terganggu karena para penganut agama belum terlalu arif hidup dalam realitas religius yang pluralistik itu. Hal itu disampaikan Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologia (STT) Gereja Kristen Injili (GKI) di tanah Papua "I.S.Kijne" Abepura, Dr Sostenes Sumihe ketika tampil membawakan makalah "Melindungi Kebebasan Beragama" pada diskusi publik "Protecting Religious Freedom" yang diselenggarakan atas kerjasama Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur dengan Lembaga Studi Filsafat dan Agama (LSFA) Jakarta di Abepura, Jayapura, Kamis (23/10). "Negara menjamin agama-agama itu tumbuh dan negarapun menjamin kebebasan pemeluk setiap agama untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Melindungi kebebasan beragama merupakan tugas panggilan dan tanggungjawab semua warga negara RI, termasuk setiap penganut agama," katanya. Dikatakan demikian, lanjut Sostenes, karena kebebasan beragama merupakan hak asasi dari setiap penduduk Indonesia yang harus dilindungi. Indonesia itu bukan Negara agama, tetapi juga bukan Negara sekuler. Sebagai Negara yang bukan Negara agama, penyelenggaraan pemerintahan tidak didasarkan pada agama, melainkan dijalankan sesuai dengan pola pemerintahan moderen. Namun demikian, nilai-nilai keagamaan tetap mewarnai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan keyakinan dan penghayatan Ketuhanan Yang Maha Esa oleh setiap warga negara sebab Tuhan itu disembah dan dipuja pada setiap agama. Menurut dia, karena negara ini bukan negara agama, maka setiap orang memiliki kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agama yang diyakininya. Kemerdekaan ini dijamin oleh Negara. Kebebasan itu menyangkut dua hal yaitu memeluk agama dan beribadah. Setiap warga negara memiliki kebebasan, tidak dipaksa oleh siapapun, termasuk negara, untuk memeluk dan meyakini sebuah agama ? tetapi negara hanya mengizinkan enam agama di Indonesia. Kebebasan itu bukan hanya meyakini sebuah agama tetapi juga kebebasan dalam menjalankan ritus keagamaan sesuai dengan agama yang dianut itu. Penganut agama Islam menjalankan ritus sesuai ajaran Islam, Katolik sesuai ritus Katolik, Protestan sesuai ritus Protestan, Hindu sesuai ritus Hindu dan seterusnya. Dengan ini, maka di Indonesia terdapat berbagai bentuk ritus keagamaan yang berbeda-beda satu dengan yang lain. "Perbedaan-perbedaan agama dan ritusnya itu menuntut sikap saling menerima, mengakui, menghormati dan menghargai dari setiap warga negara. Sikap demikian adalah implementasi dari kemerdekaan atau kebebasan sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 29 itu," katanya. Karena negara menjamin dan melindungi kemerdekaan beragama maka setiap umat beragama pun sudah seharusnya menjamin dan melindungi keberadaan setiap kelompok umat beragama serta menghormati dan menghargai ritus keagamaan yang dijalankannya. Kegagalan untuk saling menerima, mengakui, menghormati dan menghargai berarti kegagalan dalam menjamin dan melindungi kemerdekaan atau kebebasan beragama. Dan ini akan melahirkan sentiment agama yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik yang bernuansa agama. Konflik itu dapat bersifat pasif berupa pernyataan-pernyataan yang melecehkan agama lain, maupun yang bersifat aktif dalam bentuk kekerasan fisik. Sostenes menilai, dalam tahun-tahun terakhir ini, jaminan dan perlindungan terhadap kemerdekaan atau kebebasan beragama berada dalam ancaman serius. Sentimen agama yang mengambil bentuk kekerasan fisik telah mewarnai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. "Pelecehan terhadap kebebasan beragama itu bahkan dilakukan oleh negara dalam bentuk SK bersama Menteri tentang hari Minggu sebagai hari kerja. Kalau negara sudah melecehkan kemerdekaan beragama dan beribadah, maka pertanyaannya adalah apakah keberadaan agama di Indonesia masih diakui," kata Sostenes.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008