Jakarta (ANTARA News) - Amerika Serikat (AS) yang didera krisis finansial tidak mengalami kebangkrutan dan berusaha untuk memperbaiki sistem ekonominya, sementara Indonesia yang juga terkena imbasnya harus memperkokoh pondasi ekonominya sehingga rakyat tidak sengsara. "Krisis finansial yang dialami AS saat ini terjadi karena negara itu berperilaku seperti besar pasak daripada tiang," kata pakar ekonomi Faisal Basri dalam seminar yang diselenggarakan Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) bekerja sama dengan Fiedrich Naumann Stiftung, Friedrich Ebert Stiftung dan Goethe Institut di Jakarta, Kamis. Pembicara lainnya dalam seminar itu ialah Franz Magnis Suseno dan A. Tony Prasetyantono. Lebih jauh dalam seminar yang bertema "Ekonomi Pasar Sosial dan Krisis Ekonomi Global: Dapatkah Sistem Epasos Bertahan di Tengah Krisis Ekonomi" itu, Faisal mengatakan sistem kapitalisme yang diterapkan oleh AS juga tidak bangkrut, berbeda dengan sistem komunisme yang telah mengalami kebangkrutan. Di dalam negeri AS, ada usaha-usaha untuk menyelamatkannya agar tidak terperosok ke dalam jurang kebangkrutan. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain pemberian dana talangan oleh pemerintah AS kepada lembaga-lembaga keuangan yang bermasalah, katanya. "Tak ada talangan yang diberikan kepada orang-orang miskin. Hanya korporasi yang mendapat untung dari dana talangan yang dikucurkan pemerintah," kata Faisal. Ditambahkannya, krisis finansial yang didera AS tak separah ketika the Great Depression melanda negara Paman Sam itu pada tahun 1930-an dan krisis pada tahun 1970-an. Pada bagian lain Faisal menyatakan bahwa krisis itu juga menyebabkan negara-negara lain tersandera. Menurut dia, negara-negara besar, seperti Rusia, China dan Jepang termasuk yang tersandera karena jaringan ekonomi AS yang menggurita. Karena itu, katanya, diperlukan usaha-usaha bersama untuk memperbaiki tatanan dunia dengan membuat arsitektur baru. Proses koreksi Sementara itu, A. Tony Prasetyantono menyatakan proses koreksi sedang berlangsung atas sistem yang diterapkan di AS. Negara itu mungkin pertumbuhan ekonominya pada kuartal nanti negatif, walau saat ini masih mengalami pertumbuhan positif. "Di dunia tak ada sistem yang sempurna dan 'bom waktu' bisa juga terjadi di negara-negara lain, seperti di China. Jepang telah mengalami pada tahun 1990-an yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi stagnan," kata dosen ekonomi dan bisnis UGM itu. Dikatakannya, dampak krisis ini juga terimbas ke Indonesia, namun kondisi dan situasinya berbeda dengan krisis multidimensi pada 1998. Dalam upaya mengatasi krisis finansial itu, ia melihat sejumlah bank di AS akan dimerger seperti yang pernah dialami Jepang. Di Indonesia, Tony mengatakan kinerja BRI yang memiliki nasabah jutaan dan banyak dari kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM) bisa menjadi contoh. "Sejumlah bank meniru apa yang dilakukan BRI yang menggarap kelompok tersebut yang memiliki "interest margin " tebal. Mereka membajak pegawai BRI," ujarnya. Dalam seminar dengan moderator Ivan A. Hadar, Franz Magnis Suseno membahas landasan filosofis, sejarah lahirnya ekonomi pasar sosial, demokrasi, kebebasan dan penegakan hukum, terutama di Jerman. "Ekonomi pasar sosial yang diterapkan di Jerman harus didefinisi ulang dan ekonomi harus dibangun sehingga semua bisa ikut serta," kata Romo Suseno yang pada 1950-an saat masih remaja mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Ia juga merujuk kepada Partai Sosial Demokrat (SDP) sebagai contoh yang berusaha mengubah orientasi politik ekonominya dari Marxisme menuju pasar sosial. Walau demikian, katanya, kebebasan dan demokrasi memang penting, tetapi jangan lupa untuk memasukkan hak-hak sosial dan solidaritas dalam mengambil kebijakan di bidang ekonomi. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2008