Jakarta (ANTARA News) - Tipikal investor lokal selalu saja tertinggal (behind the curve) dari investor asing. Ketika investor asing sudah lebih dahulu keluar dari bursa, baru investor lokal mengikuti, begitu juga sebaliknya ketika investor asing masuk bursa, investor lokal ikut membebek. "Mereka selalu saja harus distimulir oleh investor asing dahulu, baru mereka mengikutinya. Kepercayaan investor lokal selalu saja tergantung dengan gerak gerik investor asing. Akibatnya dalam situasi bursa seperti ini investor lokal selalu tertinggal," kata Dirut Finance Corfindo, Edwin Sinaga, di Jakarta Rabu. Menurut Edwin, tipikal investor lokal yang selalu membebek investor asing justeru merugikan dirinya sendiri. Ketika bursa berkembang pesat (booming), investor asing yang paling besar menikmati keuntungan. Sebalikmnya ketika bursa saham jatuh, investor lokal yang banyak menanggung kerugian. Dia menambahkan seharusnya pada kondisi bursa seperti ini dana investor lokal mulai masuk untuk membeli saham-saham yang sudah tergolong sangat murah. Jangan sampai didahului investor asing. "Biasanya yang terjadi kalau sudah harga-harga saham mulai melambung, investor lokal baru ikut masuk. Ini sudah kehilangan momentum karena kedahuluan investor asing," ujarnya. Likuiditas kering Menanggapi bursa saham Indonesia yang masih saja loyo di tengah bursa regional yang menguat, Edwin mengatakan hal itu disebabkan likuiditas yang ada di pasar modal sangat kering. Dia mencontohkan ketika bursa regional kemarin (28/10) mulai menguat, justeru bursa kita turun, dan hari ini bursa regional menguat kembali, bursa kita hanya naik tipis. "Persoalannya adalah masalah likuiditas yang kering, harus ada injeksi modal besar ke bursa," ujarnya. Dia menambahkan upaya pemerintah mengatasi krisis keuangan, termasuk di pasar modal, patut diapresiasi dengan berbagai kebijkannya. Namun, katanya, ada beberapa program yang harusnya segera diimplementasikan. Edwin mencontohkan program beli kembali (buy back) sejumlah BUMN harusnya segera dilaksanakan. "Harusnya mereka yang mengambil keputusan buy back BUMN diberi kewenangan yang jelas, terutama mengenai harganya, sehingga ketika mereka mnengeksekusi buy back tidak dihantui rasa berasalah jika kemudian harga sahamnya turun lagi,`kata Edwin. "Kalau kebijakan buy back mengacu pada harga yang harus lebih rendah dari sebelumnya patut dipertanyakan. kalau ini acuannya, sama saja dengan mendorong harga saham jatuh lagi. Padahal seharusnya yang menjadi acuan adalah harga wajar (fair value) dari saham yang bersangkutan," paparnya. Mengenai saham-saham yang patut dikoleksi sebagai lahan investasi, Edwin menyarankan untuk membeli saham-saham pertambangan (batubara) dan perbankan. "Kalau kita ambil saat ini, tunggu saja dua atau tiga tahun lagi, kita bakal panen besar," ujarnya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2008