Ny. Fatimah beserta suami dan enam anaknya bahagia karena telah menempati rumah baru tipe 45 yang dibangun Palang Merah Jerman (GRC), tak lama setelah tsunami melanda Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Rumahnya berada satu kompleks dengan puluhan rumah lain yang bercat warna-warni di Desa Krueng Raya, Pulau Weh. Selain warna-warni cat rumah para nelayan, hal lain yang mencolok adalah parabola untuk menangkap siaran televisi di setiap rumah warga dan tanaman bougenvile yang sedang berbunga. "Kami sangat senang tinggal di rumah ini, yang jauh lebih baik daripada rumah yang lama," kata Ny. Fatimah. Ia dan para tetangganya menyampaikan rasa terima kasih atas penyediaan rumah tersebut yang bisa mencapai Rp100 juta per unit sehingga tak pusing memikirkan bagaimana memperoleh rumah sebagai pengganti rumah lamanya. Setelah tsunami 26 Desember 2004, para nelayan di desa itu tinggal di rumah mereka yang rusak berat dan hidup apa adanya sampai datang bantuan untuk pindah ke rumah-rumah yang baru. Hanya dua orang tewas saat bencana itu dan lainnya berhasil menyelamatkan diri ke bukit di sekitarnya. Kompleks perumahan itu sendiri berada di sebuah bukit sekitar 200 meter dari rumah para nelayan yang luluh lantak dihantam tsunami. Ir. Azhari, seorang konsultan yang direkrut GRC, mengatakan penduduk setempat termasuk nelayan yang rumah-rumahnya rusak dihantam tsunami diikutsertakan dalam perencanaan pembangunan rumah. "GRC membangun rumah tipe 45 yang tahan gempa dan pemiliknya dapat membuat rumah berlantai dua," ujar pemuda lulusan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala itu. GTZ yang merupakan lembaga teknik Jerman turut juga merancang sanitasi di proyek tersebut. Berita tentang tsunami sampai ke Jerman dan GRC merupakan satu di antara puluhan organisasi palang merah dan bulan sabit merah yang segera datang ke Aceh membawa misi kemanusiaan. Empat tahun sudah GRC hadir di provinsi itu dan mengucurkan tak sedikit dana untuk proyek rekonstruksi pascatsunami. Proyek rekonstruksi infrastrukturnya dititikberatkan di berbagai kawasan di Banda Aceh, Teunom, Calang, Pulau Weh dan Aceh Besar yang termasuk sangat parah dilanda bencana itu. Tercatat sebanyak 1.491 unit rumah, 32 sekolah dan tujuh Puskemas telah dibangun. Selain proyek fisik tersebut, masih ada pelatihan-pelatihan ketrampilan, pembangunan kapasitas dan pemeliharaan lingkungan hidup disediakan. "Kami sudah menghabiskan dana sebesar 40 juta euro untuk proyek rekonstruksi tersebut," kata Dr. Johannes Richert, ketua Bantuan Nasional dan Layanan Internasional GRC, yang mengunjungi sejumlah proyek rekonstruksi itu baru-baru ini. GRC berhasil mengumpulkan dana dari masyarakat Jerman senilai 129 juta euro beberapa hari setelah tsunami melanda negara-negara di kawasan Samudera Hindia. Bantuan GRC diberikan juga kepada Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Maladewa dan Bangladesh sesuai dengan tingkat kerusakan. Tapi, GRC memberi bantuan jauh lebih besar kepada Indonesia untuk proyek rekonstruksi di Aceh daripada negara-negara tersebut. Bersama dengan Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias, dan pemerintah provinsi dan daerah setempat, GRC dengan personilnya bekerja keras untuk merealisasikan misi kemanusiaannya yang sebagian besar telah rampung dan berakhir pada Desember nanti. BRR juga mengkoordinasi bantuan dari lembaga-lembaga donor dalam dan luar negeri dengan total anggaran 3,8 miliar dolar atau sekitar Rp34 triliun. Dengan RAN (Rekonstruksi Aceh-Nias) Database inilah 552 lembaga pelaksana dan donor yang berkiprah di Aceh dan Nias memberi pertanggungjawaban kepada publik. Sebagaimana BRR, GRC juga bertanggung jawab atas penggunaan dana kepada masyarakat khususnya warga Jerman sebagai konstituennya. "Dana sumbangan yang diperoleh GRC untuk misi kemanusiaan diaudit," kata Dr. Richert. Menjelang akhir kiprahnya, GRC pun mengundang wartawan dari media Jerman seperti kantor berita DPA, majalah Focus, stasiun radio Deutsche Welle dan ARD untuk melihat dari dekat proyek-proyek prasarana tersebut. Mereka juga dapat dikatakan sebagai wakil publik Jerman yang melaporkan langsung sampai sejauh mana bantuan sampai ke tangan yang berhak seperti Ny. Fatimah dan para korban tsunami lainnya. "Tak tahu apa jadinya seandainya tak ada bantuan untuk kami. Kami berharap bantuan ini dapat menambah semangat menyongsong masa depan kami dan anak-anak," kata Ny. Fatimah, yang kesehariannya berkerja memecah batu-batu untuk bahan konstruksi rumah dan jalan. (*)

Oleh Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2008