Jayapura (ANTARA News) - Kunjungan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar ke Papua harus menuai hasil yang nyata bagi rakyat Papua antara lain dimulainya penyelidikan dan penyidikan sampai tuntas berbagai tindakan korupsi uang negara khususnya dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua. Hal itu disampaikan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Pastor Dr Neles Tebay,Pr di Jayapura, Rabu menanggapi kunjungan kerja Ketua KPK Antasari Azhar ke Papua pada Selasa (11/11) hingga Rabu. "Kedatangan Ketua KPK harus membuahkan hasil nyata, rakyat Papua harus bisa melihat secara langsung tindakan pemberantasan korupsi yang banyak dilakukan para pejabat publik. Apabila Indonesia masih menginginkan agar tanah Papua tetap utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia maka korupsi harus diberantas dan pelakunya harus diseret hingga ke dalam penjara agar ada efek jera bagi generasi yang lain," tegas Pastor Neles Tebay,Pr. Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Jayapura ini mengatakan, uang negara triliunan rupiah yang mengalir deras ke Papua tidak akan menyejahterakan rakyat Papua apabila pelaku tindakan korupsi di wilayah ini tidak disentuh sedikitpun oleh penagak hukum. Rakyat Papua telah kecewa dengan tindakan para penegak hukum selama ini yang terkesan "berkompromi" dengan para koruptor sehingga tindakan pemberantasan korupsi di tanah Papua "berjalan di tempat" malahan hanya sebagai "pemanis bibir" para pejabat penagak hukum untuk meninabobokan rakyat pencari keadilan. Para penegak hukum di Papua sering memberikan pernyataan pers mengenai kesungguhan mereka melakukan pemberantasan korupsi dan menindak koruptor tetapi hal itu hanya untuk mencari popularitas diri di media agar mereka bekerja lebih lama lagi di Papua dan dinilai baik oleh Pemerintah Pusat. Rakyat Papua sangat kecewa dengan pemerintahan yang korup sehingga tidak tertutup kemungkinan bagi mereka untuk meneriakkan kemerdekaan lepas dari NKRI lantaran uang negara yang seharusnya digunakan untuk menyejahterakan mereka terutama yang hidup di kampung-kampung terpencil dan terisolasi habis dikorup yang menyebabkan rakyat semakin miskin, bodoh dan terkebelakang. "Kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan rakyat Papua menjadi pemicu lahirnya aspirasi disintegrasi bangsa dan negara Indonesia di tanah Papua," tegas Dr Neles Tebay, alumnus Universitas Kepausan, Roma itu. Sementara itu Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis di Tanah Papua, Pdt.Socratez Sofyan Yoman,S.Th berpendapat, hingga kini KPK belum serius menyoroti berbagai kasus dugaan korupsi yang dilakukan para pejabat atau mantan pejabat di lingkungan eksekutif dan legislatif tingkat Provinsi Papua atau kabupaten/kota di provinsi tertimur Indonesia ini sehingga menimbulkan kesan dalam masyarakat bahwa KPK melakukan "tebang pilih?" pemberantasan korupsi di Tanah Air. "Masyarakat di tanah Papua sangat ragu akan keberhasilan pemberantasan tindak kosupsi yang sudah menjalar hingga ke tingkat distrik dan kampung-kampung yang pada akhirnya menimbulkan sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang ada," katanya. Rakyat, lanjutnya menghendaki kinerja eksekutif dan legislatif yang bersih serta bebas dari korupsi karena realitas membuktikan,begitu banyak uang negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata dikorupsi oleh pejabat eksekutif dan/atau legislatif. Kelihatannya, hingga kini KPK belum serius untuk menuntaskan persoalan yang rumit ini. Socratez memprediksi, apabila KPK tidak bersungguh-sungguh menangani berbagai dugaan korupsi di tanah Papua maka cepat atau lambat, kepercayaan rakyat Papua khususnya orang asli Papua kepada pemerintahan yang sah, bersih dan bebas dari KKN akan menurun drastis dan disusul rasa ketidakpuasan kepada pemerintah serta lahirlah konflik vertikal dan horizontal di wilayah ini menuju disintegrasi bangsa. "Kini, permasalahan dugaan korupsi di tanah Papua didiamkan begitu saja oleh institusi penegak hukum. Dengan demikian rakyat pun semakin tidak percaya pada institusi penegak hukum di Papua karena belum ada satu kasus dugaan korupsi kelas kakap di Papua berhasil dituntaskan oleh polisi, jaksa dan hakim. Semuanya terkesan dipetieskan dengan berbagai alasan seperti kekurangan barang bukti dan kekeliruan administratif," katanya. Banyak contoh dugaan korupsi di tanah Papua yang hingga kini belum tersentuh KPK antara lain dugaan korupsi di lingkungan pemerintahan Kabupaten Waropen yang mencapai belasan miliar rupiah, dugaan korupsi di Kabupaten Mimika masa kepemimpinan Bupati Klemen Tinal juga dugaan korupsi di gedung negara Timika, Kabupaten Mimika. Tidak ketinggalan, dugaan korupsi di Kabupaten Puncak Jaya khususnya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mulia yang menelan dana Rp11.275.465.000 yang dikelola Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua bekerjasama dengan PT Bumi Cipta Alam Selaras. Anggaran proyek PLTA Mulia dapat dirinci sebagai barikut, pekerjaan sipil senilai Rp5.761.414.118, Mekanik dan elektrikal Rp3.920.500.000 dan Training operator Rp212.900.500. "Apabila KPK tidak segera datang ke Puncak Jaya, Mimika dan Waropen serta kabupaten lainnya di tanah Papua untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi maka tidak tertutup keungkinan rakyat semakin tidak percaya pada pemerintahan yang ada yang berujung pada munculnya sikap dan tindakan disintegrasi bangsa dan negara Indonesia," katanya mengingatkan. Pdt Socratez Sofyan Yoman berpendapat, Pemerintah Pusat telah mengucurkan dana pembangunan tanah Papua khusus untuk orang asli Papua sebanyak triliunan rupiah namun hingga kini belum ada tanda-tanda yang menggembirakan di bidang perbaikan kesehatan rakyat, peningkatan gizi keluarga, pendidikan, ekonomi dan infrastruktur. "Begitu banyak uang negara dikorupsi oleh pejabat yang berkuasa pada waktunya namun pihak penegak hukum di tanah Papua terkesan bersikap dingin dan adan kesan pula ikut mengamankan koruptor dengan cara mendiamkan semua persoalan korupsi tersebut tanpa tindak lanjut ke meja hijau. Hingga kini belum ada satu pun pejabat atau mantan pejabat pemerintah yang terbukti korupsi mendekam di dalam penjara," katanya. Begitu pula, KPK hingga kini belum serius dalam upaya pemberantasan korupsi. "Jangan heran kalau rakyat berontak menuntut pengembalian uang mereka yang sudah dikorupsi untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok dan keluarga pejabat atau mantan pejabat sementara rakyat tetap miskin di atas kekayaannya sendiri. Hal ini akan berpengaruh pada kecintaan mereka kepada NKRI," katanya.(*)

Pewarta: kunto
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2008